Teumeunak di Media Sosial: Aceh Juara Ujaran Kebencian

Oleh: Harir Rizky Tullah
Founder Ruang Lingkup

Sebagai masyarakat Aceh yang kaya akan adat dan budaya, kita tentu menyadari bahwa media sosial adalah alat yang sangat powerful untuk berbagi informasi, berbicara tentang aspirasi, dan terhubung dengan dunia luar. Namun, belakangan ini muncul fenomena yang sangat mengkhawatirkan, yaitu semakin maraknya perilaku teumeunak—istilah dalam bahasa Aceh yang menggambarkan tindakan menyampaikan ketidakpuasan atau kemarahan melalui kata-kata kasar, kotor, bahkan bernada porno di media sosial.

Tujuan dari perilaku ini jelas untuk merendahkan atau menjatuhkan orang lain. Ada pula untuk menyalurkan rasa kekecewaan yang sangat mendalam terhadap sesuatu atau seseorang.

Fenomena ini semakin terasa nyara ketika mengingat data dari riset yang dilakukan oleh AJI bekerja sama dengan Monash University. Penelitian yang mencakup sekitar 185 ribu teks konten di TikTok dan Twitter menjelang Pilkada 2024 menunjukkan bahwa Aceh menjadi provinsi dengan angka tertinggi dalam hal ujaran kebencian, yaitu mencapai 40,26%.

Ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan provinsi lainnya seperti Jawa Barat yang mencatatkan 35,04%. Bahkan, yang lebih mengejutkan adalah ketika saya membuka Instagram saya, kemudian saya menyadari bahwa tingkat ujaran kebencian Aceh menempati peringkat nomor satu di Indonesia.

Angka ini menunjukkan dampak yang sangat besar dari perilaku negatif yang beredar di ruang digital kita. Seolah-olah mendos telah menjadi tempat pelampiasan kemarahan dan kebencian terhadap seseorang.

Lalu, apa yang sebenarnya terjadi dengan masyarakat Aceh di media sosial? Media sosial yang awalnya menjadi wadah positif untuk berbagi informasi kini justru berfungsi sebagai arena pertikaian. Video-video, siaran langsung, komentar kasar, dan sindiran mulai mendominasi ruang digital tersebut.

Bahkan, tak jarang teumeunak dengan logat yang leukit ini menimbulkan dampak yang meluas, baik dalam bentuk polarisasi sosial hingga perpecahan antar sesama. Hal ini tentu sangat bertentangan dengan nilai-nilai yang selama ini yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Aceh, seperti kesantunan dan kehormatan.

Fenomena ini semakin diperparah dengan maraknya konten negatif yang kerap memicu pertentangan, bukan hanya di kalangan politisi, tetapi juga masyarakat umum. Perilaku ini merusak kualitas komunikasi kita di media sosial dan memberi dampak buruk terhadap citra Aceh di mata dunia luar.

Bagaimana mungkin kita mengedepankan budaya damai jika ruang digital kita justru dipenuhi dengan ujaran kebencian? Tentu saja banyak yang merasa tersinggung atau bahkan merasa dendam dengan ujaran-ujaran tersebut.

Namun, sebagai bagian dari masyarakat Aceh, kita memiliki kekuatan untuk berubah dan memperbaiki situasi ini. Edukasi digital menjadi langkah pertama yang harus dilakukan.

Generasi muda dan masyarakat umum perlu diajarkan cara berkomunikasi yang baik di dunia maya, memahami batasan hukum, serta mengenal risiko dan dampak dari ujaran kebencian. Ini bisa dilakukan melalui sekolah-sekolah, lembaga pendidikan, hingga komunitas-komunitas yang ada.

Tokoh agama dan adat di Aceh juga memegang peranan penting dalam membimbing masyarakat untuk tetap menjaga kesopanan dan adab dalam berkomunikasi, terutama di media sosial. Melalui ceramah keagamaan atau dialog interaktif, mereka dapat mengingatkan kita semua tentang tanggung jawab moral dalam bermedia sosial.

Untuk menciptakan ruang digital yang lebih damai, masyarakat Aceh perlu bergerak bersama dalam kampanye positif, seperti #AcehBijakBermediaSosial. Kampanye ini bertujuan untuk menyebarkan konten yang mendidik, menginspirasi, dan mempromosikan nilai-nilai budaya Aceh yang penuh kedamaian.

Para influencer lokal yang memiliki pengaruh besar di media sosial juga dapat memainkan peran penting. Mereka bisa menjadi contoh dalam berbagi konten yang penuh etika dan kedamaian. Dengan pengaruh yang mereka miliki, influencer bisa memperkenalkan cara berkomunikasi yang lebih sehat dan positif di media sosial.

Penting juga untuk meningkatkan penegakan hukum terhadap konten ujaran kebencian. Aparat penegak hukum harus lebih proaktif dalam menindak pelaku ujaran kebencian, dengan tetap menjaga keseimbangan agar tidak mencederai kebebasan berekspresi yang sehat.

Selain itu, kreator konten lokal di Aceh bisa dilibatkan dalam menghasilkan karya yang lebih positif dan mendidik, seperti video edukatif mengenai sejarah Aceh, seni budaya, atau diskusi seputar nilai-nilai moral dan agama yang dapat meningkatkan kualitas komunikasi di media sosial.

Sebagai masyarakat digital, kita juga bisa membentuk komunitas pengawas konten di media sosial. Forum ini bertugas untuk melaporkan konten-konten yang mengandung ujaran kebencian dan memastikan bahwa platform-platform besar, seperti TikTok dan Instagram, mengambil tindakan yang tepat terhadap pelanggaran etika bermedia sosial.

Dengan langkah-langkah konkret ini, kita dapat berupaya mengubah media sosial Aceh menjadi ruang yang lebih positif. Jika kita bisa mengubah perilaku kita di media sosial, maka kita tidak hanya akan meningkatkan kualitas komunikasi di dunia maya, tetapi juga memperkuat rasa persatuan dan kebersamaan yang sudah lama menjadi ciri khas Aceh. Mari bersama-sama berhenti dari praktik teumeunak yang merusak dan mulai menciptakan ruang digital yang lebih positif, penuh hormat, dan mendukung satu sama lain.

Aceh dimedia sosial dewasa ini lebih menonjolkan sisi negative daripada positif. Untuk itu kita perlu membangun langkah bersama agar kesan masyarakat luar terhadap Aceh tidak menjadi presenden buruk dimasa yang akan datang.

Post a Comment

Previous Post Next Post