Pilkada Aceh: Dari "Cet Langet" ke "Peugah Lagee Buet, Pubuet Lagee Na"

Oleh Harir Rizky Tullah
Founder Ruang Lingkup

Pemilihan umum atau pesta demokrasi selalu menjadi ajang yang sangat dinantikan oleh berbagai pihak, lebih-lebih lagi bagi para kandidat yang ingin menjadi pemimpin. Bagi Masyarakat, pemilihan umum merupakan sebuah impian perubahan untuk merasakan kondisi yang lebih baik dimasa yang akan datang. Pemilihan umum itu sendiri merupakan proses pemindahan kekuasaan dari seorang pemilih kepada yang dia pilih untuk bertindak atas namanya dalam melakukan segala tindakan untuk pembangunan sebagai upaya mewujudkan kesejahteraan.

Di tingkat provinsi, pemilihan kepala daerah (Pilkada) seperti di Aceh selalu menjadi ajang yang penuh harapan bagi masyarakat. Dalam setiap kampanye, para calon kepala daerah berlomba menawarkan solusi atas berbagai persoalan rakyat. Janji-janji mereka terdengar menggugah: pembangunan infrastruktur yang merata, peningkatan mutu pendidikan, hingga pemberdayaan ekonomi masyarakat. Semua janji tersebut menghipnatis masyarakat pemilih seolah-olah mereka sedang berada di gerbang perubahan.

Namun, sudah menjadi rahasia dan kebiasaan umum disaat kampanye berakhir dan seorang calon memenangkan pemilihan, realitas di lapangan sering kali tidak sejalan dengan janji-janji dan ekspektasi masyarakat pemilih. Banyak janji hanya berhenti sebagai retorika manis tanpa implementasi nyata hingga akhir jabatan yang diemban.

Pada tanggal 27 November 2024 lalu, Aceh baru saja melaksanakan pemilihan kepala daerah. Momentum ini diharapkan menjadi awal yang baik bagi perubahan nyata di daerah ini. Harapan besar disematkan kepada para pemimpin yang baru terpilih agar dapat melaksanakan apa yang telah mereka janjikan selama kampanye.

Visi dan misi yang mereka sampaikan kepada masyarakat tidak hanya sekadar kata-kata, tetapi harus diwujudkan dalam program yang nyata. Semoga semua janji tersebut dapat direalisasikan demi kemajuan Aceh secara menyeluruh, tidak hanya sekedar cet langet.

Sebagai warga Aceh, kami menyaksikan bagaimana janji pemerataan pembangunan sering kali menjadi sekadar cet langet, mimpi indah yang sulit diwujudkan. Sedangkan kondisi yang sebenarnya masih banyak daerah pedalaman yang masih sulit dijangkau akibat buruknya infrastruktur, masyarakat tinggal di rumah yang tidak layak huni. Di wilayah tertentu, akses jalan yang layak masih menjadi impian yang tak kunjung terwujud.

Padahal, selama kampanye, calon kepala daerah berulang kali berkomitmen memperbaiki kondisi ini. Ketimpangan pembangunan yang terus terjadi menunjukkan fokus pemerintah lebih terpusat pada wilayah perkotaan, sementara daerah terpencil terabaikan.

Tak hanya infrastruktur, layanan kesehatan dan pendidikan juga menjadi korban dari janji yang tidak terealisasi. Fasilitas kesehatan di desa-desa terpencil masih sangat terbatas, sehingga warga harus menempuh perjalanan panjang ke kota untuk mendapatkan layanan medis yang memadai.

Di bidang pendidikan, anak-anak di banyak daerah masih harus berjalan kaki berkilometer untuk bisa bersekolah. Semua janji untuk memperbaiki kondisi ini sering kali hanya terdengar selama kampanye, tanpa langkah nyata setelah pemimpin terpilih mulai menjabat.

Dalam berbagai kondisi, masyarakat sering sekali merasa tidak dilibatkan dalam proses perencanaan pembangunan. Banyak program pemerintah dinilai tidak relevan dengan kebutuhan nyata masyarakat. Contohnya, beberapa proyek pembangunan justru tidak mendukung pertumbuhan ekonomi warga setempat, malainkan hanya mengejar penyerapan anggaran semata.

Hal ini mencerminkan perencanaan yang kurang mendengar suara masyarakat, padahal mereka adalah pihak yang paling memahami kebutuhan wilayahnya. Sebagaimana pepatah Aceh, peugah lagee buet, pubuet lagee na, seharusnya seorang pemimpin menyampaikan janji sesuai kenyataan dan kemampuannya, serta melaksanakan program sesuai dengan kebutuhan riil rakyat.

Sebagai generasi muda Aceh, tentu saja tidak ingin terus-menerus menjadi penonton dari janji-janji yang tidak ditepati. Dengan memanfaatkan teknologi dan media sosial, kami makan mengawal dan  menyuarakan kritik jika menemukan ketidaksesuaian antara janji dan kenyataan. Sebagai generasi muda dan masa depan Aceh, kami ingin berpartisipasi untuk menentukan kondisi Aceh yang lebih baik dimasa depan.

Partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan hendaknya tidak hanya menjadi sebuah wacana atau ditataran seminar saja tetapi juga dalam forum perencanaan pembangunan daerah sehingga menjadi salah satu metode untuk memastikan aspirasi kami didengar dan dipertimbangkan.

Pilkada seharusnya menjadi momentum perubahan, bukan sekadar panggung politik penuh drama. Kami sangat menginginkan para pemimpin yang terpilih benar-benar berkomitmen pada pembangunan yang inklusif dan merata. Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah akan meningkat jika para kepala daerah mampu menunjukkan tanggung jawab terhadap janji kampanye mereka. Kami percaya, dengan pengawasan aktif dari masyarakat, pemerintah dapat menjadi lebih transparan dan akuntabel dalam menjalankan tugasnya.

Aceh memiliki potensi besar untuk berkembang. Namun, perubahan hanya akan terjadi jika pemimpin yang terpilih benar-benar bekerja untuk rakyat dan masyarakat aktif mengawasi jalannya pemerintahan. Sebagai gereasi milinial Aceh, kami menaruh harapan besar terhadap pemimpin yang telah terpilih dalam pesta demokrasi yang telah sukses dilaksanakan pada tanggak 27 November lalu untuk Aceh yang lebih baik. Semoga!

Post a Comment

Previous Post Next Post