Strategi Indatu Membangun Ekonomi Aceh


Oleh: T. Murdani

Dosen Prodi Pengembangan Masyarakat Islam,
Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Ar-Raniry, Banda Aceh


Menurut para ahli sejarah, Aceh merupakan suatu komunitas perpaduan dari berbagai etnik yang memiliki sifat dan watak masing-masing. Untuk menyatukan perbedaan menjadi satu kekuatan membutuhkan ekstra usaha dan kemampuan.

Sistim sosial yang terbagun dari kondisi masyarakat yang sangat majemuk tidak lah semudah mengatur komunitas yang homogen. Kebanyakan negara Eropa merupakan masyarakat yang homogen dan mereka mencoba untuk mempertahankan kondisi itu.

Sehingga banyak sekali masaalah atara kulit putih dan kulit berwarna. Merancang sebuah konsep pembangunan untuk masyarakat yang homogen relatif mudah bila dibandingkan dengan masyarakat majemuk. Mungkin ini sebabnya masyarakat Aceh belum memiliki konsep khusus untuk strategi pembangunan.

Persoalan ini juga dihadapi oleh banyak negara asia dan untuk mengahadapi permasalahan ini dutuhkan satu rancangan satu konsep yang dapat diterapkan pada semua kelompok masyarakat, atau setiap kelompok etnik masyarakat menyusun konsep pembangunan sendiri-sendiri. Namun yang jelas konsep pembangunan Barat dan Eropa kurang sesuai dari sudut padang sistim sosial kemasyarakatan.

Mengenang Aceh pernah jaya disebuah masa, menimbulkan sebuah tanda tanya bagaimana indatu kita mengelola konflik pada masyarakat yang sangat majemuk menjadi sebuah kekuatan ekonomi rempah-rempah di Asia. Diantara yang paling terkenal adalah lada, kopi, kopra, dan cengkeh, dalam artian Aceh pernah jaya dengan produk pertanian.

Kenangan tersebut sangat bertentangan dengan kondisi hari ini, dimana daun selada saja harus di impor dari provinsi tetangga. Padahal tanah Aceh luar biasa suburnya, semua bisa ditanam dan akan tumbuh dengan suburnya.

Namun apa yang terjadi adalah pasar-pasar di Aceh mulai dari pasar tingkat kecamatan sampai pasar provinsi dipenuhi dengan berbagai hasil pertanian dari provinsi tetangga. Kalau buah-buahan seperti aple dan anggur yang di impor tentu tidak akan menjadi tanda tanya, tetapi kalau sampai semangka dan pisang kepok juga harus di impor apa yang sedang terjadi di Aceh?

Persoalan utama yang harus ditelusuri adalah apa peran pemerintah dalam menjaga jalur lalulintas produksi antara desa dengan kota, dimana macetnya. Kenapa sayur-mayur dan buah-buahan saja tidak bisa diproduksi di Aceh yang kemudian di suplai keseluruh kabupaten/kota?

Jangan hanya dengan sedikit fee, para elit Aceh serta merta mendukung monopoli pengusaha provinsi tetangga untuk tetap menguasai pasar-pasar di Aceh. Sementara para petani di Aceh kehilangan pasar yang semestinya milik mereka.

Pemerintah harus mendukung saudagar-saudagar daerah untuk menyusun strategi agar pasar-pasar yang ada di Aceh dikembalikan kepada para petani lokal. Pengembalian ini penting agar dapat mengurangi pengangguran dan penurunan angka kemiskinan. Pemerintah harus memiliki strategi yang jitu untuk membantu para petani agar memiliki tempat di pasar sendiri secara berkelanjutan.

Kita harus mengingat kembali sebuah strategi indatu yang didalam filosofi, jaroe bak langai mata u pasai. Para petani diatur sedemikian rupa sehingga mereka benar-benar mampu melakukan produksi di lahan mereka. Kemudian pemerintah harus mampu menjamin peluang dipasar tersedia buat mereka.

Indatu kita telah menyusun sistim pasar, salah satunya adalah Ampon Chik Peusangan dengan aturan setiap masyarakat yang datang ke pasar diwajibkan untuk membawa hasil pertaniannya yang sudah pasti untuk diperdagangkan.

Setelah para petani menguasai pasar-pasar sendiri dengan berbagai produk lokal. Saudagar-saudagar Aceh kemudian berpartisipasi dalam perdagangan dunia dengan produk rempah-rempah unggulannya.

Menjadi sebuah catatan penting bagi kita saat ini, bagaimana kitab bisa meulumpoe untuk berpartisipasi dalam persaingan ekpor, sedangkan pasar sendiri saja dikuasai orang.

Disinilah inti dari kemampuan indatu kita dalam mengatur negeri, dimana jabatan bukanlah kekuasaan tunggal. Karena jabatan dapat dibeli atau dipengaruhi dan kekuasaan harus menjaga keinginan para pemberi agar tidak berpindah tangan sebagaimana yang sering kita lihat dewasa ini.

Pada akhirnya kekuasaan akan memiliki keterbatasan untuk mengatur karena akan berbentur dengan pemilik kepentingan. Kekuasaan itu sendiri berdiri diatas berbagai kepentingan yang tidak boleh di acuhkan karena akan membawa petaka kepada pemegang kekuasaan tersebut.

Sedangkan indatu kita, menguasai dan mengatur Aceh tempoe doloe dengan produksi dan kekuatan modal. Sehingga pemilik kepentingan tidak mampu menembus dan merong-rong kekusaan yang mereka miliki. Tentunya tidak sedikit penguasa hari ini yang tidak memiliki kemampuan tersebut, karena keinginan berkuasa saja tidak cukup.

Disinilah perbedaan antara orang-orang yang memiliki kemampuan sebagai pemimpin dengan orang-orang yang meiliki kemampuan dan jiwa kepemimpinan. Orang-orang yang memiliki jiwa kepemimpinan akan menjadi penguasa sejati, namun pemimpin akan menjadi boneka kepemimpinan dan hanya melayani pemilik kepentingan.

Mengenang memori senjarah indatu sepertinya sangat penting agar kita mampu mengulangi sejarah kegemilangan Aceh dimasa yang akan datang. Pemimpin yang berkarakter dan memiliki jiwa kepemimpinan sejati akan menjadi solusi masa depan Aceh yang gemilang.

Semoga!

Post a Comment

Previous Post Next Post