Oleh: T. Murdani
Dosen Prodi Pengembangan Masyarakat Islam,Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Ar-Raniry, Banda Aceh
Banyak sekali nasehat-nasehat yang ditinggalkan oleh indatu kita, sekaligus mengambarkan bahwa dari dahulu ramai orang yang selalu menentang dan tidak sepaham dengan usaha pembangunandan kemajuan Aceh. Namun itu sudah menjadi sifat manusia yang memang susah menerima perubahan, apalagi perubahan tersebut mengganggu identitasnya.
Perubahan sendiri memiliki efek yang luar biasa terhadap kelompok-kelompok komunitas yang ada didalam suatu masyarakat. Ketika konflik Aceh berlangsung ramai masyarakat yang berdampak secara negatif, usahanya bangkrut, hartanya dirampok, dan mungkin anggota keluarga jadi korban.
Tetapi pada saat yang sama ramai juga yang diuntungkan dan menjadi kaya gara-gara konflik. Katakanlah mereka dapat kesempatan untuk bekerja di Lembaga Kemanusiaan Internasional atau memiliki bisnis yang menguntungkan. Contoh lain ketika gempa bumi da tsunami yang melanda Aceh pada bulan desember 2004, pada saat yang kaya menjadi miskin ramai juga orang miskin yang menjadi kaya raya.
Dengan kenyataan tersebut sudah bisa dipastikan bahwa tidak semua orang akan menerima perubahan yang dihasilkan oleh pembangunan secara sukarela tanpa ada perlawanan untuk mempertahankan legitimasi diri dan kelompoknya.
Dalam sebuah rekaman yang dahulu disebarkan sebagai bentuk kampanye Gerakan Aceh Merdehka, Teungku Muhammad Hasan Di Tiro menggambarkan “perjuangan-nyoe akan meuhasei watei ureung Aceh ka meusaboeh hatei”.
Pertama sekali saya mendengar kalimat tersebut ketika saya masih dikelas dua SMP, sudah pasti sama sekali saya tidak paham dengan ucapan tersebut. Ucapan beliau sarat dengan makna yang membuat saya hanya mampu meniru perkataannya saja tetapi saya tidak memahami maknanya.
Ketika 2019 saya membaca sebuah teori pengembangan masyarakat yang sampaikan oleh Misu (2016). Dmana diia menjelaskan bahwa pembangunan masyarakat adalah suatu proses dimana suatu masyarakat bersatu untuk menyusun sebuah rencana, kemudian melakukan tidakan secara kolektif terhadap rencana tersebut dan pada akhirnya menikmati hasil bersama.
Begitu membaca teori tersebut, seketika saya mengingat rekaman suara Teungku Hasan Di Tiro “perjuangan-nyoe akan meuhasei, watei ureung Aceh ka meusaboeh hatei”. Tentu saja dengan makna akan mudah untuk melakukan suatu perubahan ketika sebuah persatuan sudah terbangun dengan kokoh. Tidak terkecuali perubahan exstrim sekalipun.
Kalimat itu beberapa kali diulang dalam rekaman tersebut dan seolah-olah menjadi sebuah penekanan dan keinginan besar untuk meyakinkan pendengar betapa pentingnya apa yang ia ucapkan. Kenyataannya dia telah gagal untuk memberi pemahaman kepada masyarakat Aceh tentang apa pentingnya meusaboeh hatei. Malah yang sudah meusaboeh hatei dengan sedikit godaan uang, semua crei brei dan meupakei sabei keudroe-droe.
Dibalik itu ada juga sekelompok masyarakat yang memiliki kegemaran untuk tidak membenarkan sesuatau bila tidak menguntungkan nya. Tidak ada yang benar kalau tidak ada keuntungan, semua salah. Mungkin orang Aceh mengindap penyakit idialis romantis. Dimana meunyeu peing tameung loen toke, tapi meunyeu peing teubit hana meusoe tokei.
Bahaya dari sifat idialis romantis ini adalah adanya sifat tanpa ragu untuk mengorbankan teman dekat sekalipun untuk mendapatkan tujuan yang diinginkan. Maka sejarah pula membuktikan bahwa banyak sekali individu dan kelompok di Aceh yang menjadi korban politik idialis romantis ini.
Mereka ada yang terbunuh dan tidak sedikit pula yang ditangkap untuk dipenjara atau diasingkan kedaerah lain.
Kondisi ini sudah digambarkan oleh indatu kita dengan perkataan. tayue jak ukeu ditoeh geuntet, tayue jak ulikeut di koeh gakie. Kondisi sosial masyarakat seperti ini akan sangat sulit untuk berkembang dan akan terpuruk pada persoalan yang sama.
Ketika mendapatkan posisi tinggi akan melupakan semuanya baik orang-orang yang sudah berjasa ataupun janji yang pernah di ucapkan. Bahkan sumpahnya sekalipun tidak akan mampu diingat. Tetapi ketika dia tidak mendapatkan jabatan atau posisi yang diinginkan, mereka akan menjelek dan menfitnah dengan sangat kejam. Dalam bahasa Aceh sering di ucapkan hanyie di pubroek.
Dengan kondisi masyarakat seperti ini sudah pasti program-program pembangunan tidak akan dapat dijalankan sebagaimana mestinya. Apalagi kalau masyarakat tersebut tidak memiliki karakter saboeh hatei, atau dengan kata lain hana sapue kheun. Tidak mungkin orang lain datang berbondong-bondong untuk membantu sedangkan didalam masih meucabeung-cabeung hatei.
Untuk menbangun Aceh sejahtera dimasa yang akan datang, maka Aceh harus meusaboeh hatei. Karena dengan kekuatan persatuan yang kuat, semua perubahan baik kecil maupun besar akan mampu dilakukan. Sama dengan semboyan kemapuan sebatang lidi jauh berbeda dengan kakuatan sapu lidi.
Maka mari kita meusaboeh hatei dengan menegosiasi kepentingan pribadi untuk mewujudkan kepentingan pembangunan Aceh yang lebih bermartabat.
Referensi:
Misu, Y. (2016). Helping Communities to Help Themselves?: Japan's Assistance for Self-help Development in Rural Malawi (Doctoral dissertation, Department of Geography, Royal Holloway, University of London).
Tags:
Opini