Aceh dan Pilem Politik Belanda Keubah


Oleh: T. Murdani

Dosen Prodi Pengembangan Masyarakat Islam,
Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Ar-Raniry, Banda Aceh

Ketika orang Aceh mencapai puncak kemarahannya sering sekali mengekpresikan kemarahan tersebut dengan dua istilah, bijeih PKI dan bijeih Belanda keubah. Sedikit menarik bagi saya terhadap istilah bijeih Beulanda keubah. walaupun sebenarnya saya pribadi kurang paham sebab musabab pemakaian istilah tersebut.

Mungkin karena orang Aceh saking marahnya kepada Belanda yang telah menghancurkan peradaban Aceh yang sangat megah di Asia Tenggara pada suatu masa. Sebuah peradaban Islam yang telah mencapai puncak kejayaan dimasanya. Tidak hanya pengetahuan dan sistim kenegaraan yang sangat modern tetapi juga memiliki armada laut yang sangat kuat.

Namun dengan berbagai taktik dan strategi, Belanda akhirnya mampu mengalahkan dan menguasai keraton Aceh. Snouck Hurgronje merupakan seorang warga negara Belanda di dunia ini yang sangat dibenci oleh orang Aceh, karena ulahnyalah Aceh jatuh kedalam lubang penderitaan yang tidak bertepi.

Kalau kita merenungkan kembali dan membaca buku-buku sejarah yang pernah ditulis tentang bagaimana sepak terjang kaphe Belanda memerangi Aceh, tidak akan ada orang Aceh yang tidak akan mendidih darahnya. Tidak akan ada yang bisa mengontrol berapa tinggi darah akan melonjak, ketika mengenang kembali betapa kejamnya serdadu Belanda dalam membasmi bangsa Aceh ketika itu.

Aceh bukannya tidak melakukan perlawanan terhadap agresi Belanda tersebut, namun karena perang yang begitu lama dan kurang persenjataan akhirnya perjuangan Aceh mencapai batasnya. Belanda sendiri mengakui bahwa perang dengan Aceh merupakan perang terlama, yang sangat mahal dan sangat melelahkan.

Menurut para pakar sejarah, Belanda tidak hanya berperang dengan senjata dan bala tantara di Aceh, tetapi mereka juga mempraktekkan politik adu domba. Menurut para ahli sejarah pula, Belanda menggunakan tehnik interogarsi tingkat tinggi untuk mengetahui kondisi Aceh secara mendalam dan menyeluruh sebelum mengadu domba masyarakat Aceh.

Tehnik introgasi tingkat tinggi yang telah mereka praktekkan adalah dengan meisahkan dua sisi mata uang yang sebenarnya tidak mungkin terjadi. Pada satu sisi mata uang Belanda merekrut segolongan masyarakat Aceh untuk dijadikan teman. Semua kebutuhan orang-orang rekrutannya disediakan. Mulai dari uang, rumah, tanah, bahkan kedudukan serta gelar. Sehingga sampai hari ini masih menjadi perdebatan misalnya gelar Ulee balang.

Sejatinya Ulee Balang merupakan sebuah gelar anugerah dari Sultan Aceh kepada individu yang telah berjasa terhadap kerajaan Aceh. Gelar tersebut dapat diwariskan kepada keturunannya. Namun dalam menjalankan praktek introgasi tingkat tinggi, Belanda bahkan memberi gelar Ulee Balang kepada orang-orang yang bekerja sama dengan mereka. Namun kelompok ini akan dibinasakan kalau tidak lagi menguntungkan misi Belanda.

Tidak jarang pula didalam masyarakat Aceh kita dengar istilah Ampon Belanda keubah. Memang sesuatu yang membingungkan, karena disatu sisi hanpir semua pejuang Aceh dimotori oleh Ulee Balang. Sebagai bukti konkrit adalah yang diangkat menjadi pahlawan nasional hari ini, ramai yang memiliki gelar Teuku dan Cut, seperti Teuku Umar, Cut Meutia, Pocut Bharen dan sebagainya. Namun disis lain Ulee balang dituduh membantu Belanda.

Cacian masyarakat Aceh tersebut sebenarnya menunjukkan telah berhasilnya interogasi tingkat tinggi Belanda di tanoeh indatu. Setalah mereka merekrut satu golongan untuk dijadikan teman yang diberikan berbagai fasilita atau dalam bahasa Aceh disebut dipeuleumak. Pada sisi mata uang lainnya Belanda menciptakan satu kelompok untuk dijadikan korban untuk disengsarakan.

Korban ini dibuat menderita semenderita mungkin, sampai-sampai harus mengemis. Kelompok ini dalam sejarah bisa dilihat terdiri dari sebagaian Ulee Balang dan Sebagian besar dari kelompok Ulama. Padahal kekuatan kerajaan Aceh sesungguhnya adalah Ulee Balang dan Ulama yang menopang otoritas Sultan.

Dengan munculnya Ulee Balang versi Belanda dan menderitanya Ulee Balang versi Sultan serta Ulama pendukung kekuasaan Sultan, maka runyoeh lah Aceh.

Semua ini hanya sepenggal versi sejarah masa lalu yang di yakini oleh sebahagian masyarakat Aceh saja. Tetapi yang tidak pernah diprediksikan adalah keberhasilan Belanda dalam mengadu domba masyarakat Aceh, telah dijadikan legasi warisan yang terus-menerus dipelihara tanpa ada solusi untuk restorasi.

Sedangkan bagi sebahagian besar kelompk lain hanya menjadi penonton untuk bersorak pada pihak yang menguntungkan. Kalau tidak menguntungkan akan di puphep se phep-phepnya. Banyak pihak yang berpendapat bahwa sejarah itu selalu berulang-ulang. Sehingga menimbulkan sebuah pertanyaan bagi kita, apakah pilem Belanda di Aceh terus-menerus diputar.

Bagaimana mungkin setelah berjuang bersama-sama selama kurang lebih tiga puluh tahun, setelah damai sebagian kebagian maboek ngeun kuah leumak tetapi Sebagian yang lain cuma kebagian boeh janeing. Sebagian mampu buka cabang dimana-mana tetapi Sebagian lainnya bue ceut uroe hana meupat.

Yang dapat kuah leumak, memberitahukan kondisi dan strategi rahasia perjuangan dengan sukarela sambil menikmati yang leumak-leumak. Namun bagi kelompok ramah boeh janeing mengeluarkan cacian dan makian dimedia sosial saban hari tanpa henti.

Akhirnya kondisi dan strategi perjuangan yang paling rahasia sekalipun ka dibaca lei lawan. Apa yang didapat Aceh sesungguhnya hanyalah haba boeh janeing kuah leumak dan gadoeh leumak gara-gara meuramah somprong.

Opini ini hanyalah sepenggal cerita fiksi, kalau ada kesamaan merupakan suatu kebetulan yang tertulis tanpa disengaja.

Post a Comment

Previous Post Next Post