Peu-Maoep Aceh di Mata Donya

 

Oleh: T. Murdani

Dosen Prodi Pengembangan Masyarakat Islam
Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Ar-Raniry, Banda Aceh

Peu-Maoep adalah sebuah instilah dan kegiatan untuk menakut-nakuti orang terhadap orang lain atau sesuatu agar tidak diganggu oleh orang lain. Maoep dalam masyarakat Aceh sering sekali digunakan untuk mankuti anak-anak agar tidak terlalu jauh bermain dari rumah. Maoep dalam bahasa Indonesia bisa diartikan dengan hantu, setan atau jin.

Orang tua Aceh dahulu sering mengatakan kepada anak-anak nya “beik jak keunan, na maoep” (jangan kesitu ada setan). Walaupun maoep itu tidak pernah diketahui wujudnya atau tidak bisa dibuktikan apakah betul ada tidaknya, istilah maoep sudah sangat efektif untuk mankuti anak-anak agar tidak keluyuran kemana-mana.

Dalam ilmu manajemen konflik, maoep juga sangat efektif untuk dikembangkan karena sangat dibutuhkan dalam berbagai hal. Dalam persaingan bisnis manajemen konflik maoep juga sangat diperlukan untuk menjaga kestabilan kegiatan bisnis seseorang. Sering sekali dengan hal-hal kecil tanpa disadari telah merusak kestabilan bisnis seseorang.

Contoh yang sangat sederhana adalah ketika seseorang memiliki saingan warung kopi (ini hanya cerita fiktif belaka, kalau ada kesamaan hanyalah kebetulan saja), dia mengirim seseorang untuk menjadi tukang parkir di warung kopi saingannya. Si tukang parkir tersebut diminta untuk menaikkan tarif parkir sedikit lebih tinggi dari biasanya, sehingga membuat pelanggan kurang nyaman. Alhasil, besar kemungkinan pengunjung akan merasa keberatan dan lebih memilih warung kopi lain untuk dikunjungi daripada warung kopi tersebut.

Dahulu sering ada cerita tentang keangkeran suatu tempat, sehingga membuat orang tidak berani datang ke tempat tersebut. Tidak diketahui darimana asal usul cerita, tetapi masyarakat tanpa ada pertanyaan langsung mempercayainya. Mereka tidak akan datang ke tempat tersebut karena ketakutan dengan cerita yang dikembangkan. Namun ada Sebagian orang yang berspekulasi bahwa seseorang telah menyimpan sesuatu yang berharga disana dan untuk menjaga keamanan simpanannya dia membuat cerita yang manakutkan agar orang-orang tidak kesana.

Anehnya hal tersebut lumayan berhasil, tentunya kondisi masyarakat tersebut masih sangat awam sehingga mudah ditakuti dan digoyahkan dengan isu-isu yang sangat sepele sekalipun. Masyarakat ini umumnya sebuah komunitas yang masih lumayan tradisional dan lebih percaya kepada mistis daripada kondisi ralitas yang ada.

Untuk menjaga sesuatu seperti hutan dari jamahan orang-orang yang tidak bertanggung jawab atau pohon agar tidak ditebang, orang-orang tua dahulu sering sekali menggunakan tehnik maoep ini. Faktanya tehnik tersebut berhasil sampai lahirnya generasi yang memiliki tingkat kaingintahuan dan rasa penasaran yang lebih tinggi. Generasi ini dengan rasa kaingintahuan yang begitu tinggi telah membongkar kebohongan dan cerita fiktif yang diciptakan hanya untuk menakuti-nakuti orang saja.

Contoh maoep yang sedikit lebih millennial adalah seperti yang terjadi di suatu daerah di Aceh Utara. Ketika ada pihak yang ingin melakukan kegiatan usaha, namun ada pihak yang tidak setuju atau merasa tersaingi, pihak tersebut akan melakukan seperti yang ada di cerita fiktif warung kopi diatas. Namun dalam cerita ini sedikit berbeda, pertama pihak tersebut mengirim orang untuk meminta pajak nonformal sebagai konsekuensi membuka proyek disana.

Ketika tehnik pajak nonformal tidak berhasil maka jalan terakhir adalah membayar pihak tertentu untuk membakar usaha tersebut. Kemudian skenario cerita sudah dikembangkan untuk peu-maoep daerah tersebut – “kalau mau buka usaha jangan didaerah itu, sedikit saja bermasaalah tempat usaha kita langsung dibakar”.

Disatu sisi orang-orang di daerah tersebut merasa bangga daerahnya ditakuti dan disegani oleh orang lain, namun disisi lain mereka tidak menyadari bahwa daerah mereka sedang diisolasi dari akses modal dan penciptaan lapangan kerja. Hasil dari kondisi tersebut sebenarnya dengan mudah dapat ditebak yakni daerah mereka sedang dimiskinkan oleh pihak-pihak tertentu.

Tehnik provokasi seperti ini sangat mudah diterapkan pada masyarakat awam dan masyarakat yang masih mempraktekkan nilai-nilai tradisional dalam kesehariannya. Masyarakat tersebut tidak memiliki kemampuan untuk berfikir secara rasional. Mereka lebih memilih untuk menyambung hidup dari hari ke hari, tidak memiliki tabungan jangka Panjang atau rencana jalan-jalan keliling dunia.

Ketenangan hidup lebih penting dari pada memiliki kekayaan yang berlimpah. Masa depan hanyalah akhirat, sedangkan dunia hanya sementara dan merupakan sebuah ujian semata.

Bernostalgia dengan cerita maoep ini tiba-tiba membuat saya tertegun sejenak, sepertinya tehnik provokasi maoep ini masih berlangsung di Aceh, namun dalam dimensi yang berbeda. Bagaimana tidak ketika penandatanganan MoU Helsinki di Finlandia yang kemudian lahir Undang-Undang nomor 11 tahun 2016, Aceh diberikan beberapa kekhususan. Salah satu kekhususan adalah Aceh dapat melakukan kerjasama internasional dalam bidang perdagangan dan investasi.

Untuk dapat melakukan poin ini tentunya membutuhkan sarana pendukung, dimana salah satunya adalah lembaga keuangan yang bertaraf internasional. Alih-alih menupayakan lembaga keuangan yang bertaraf internasional, Aceh malah melakukan menufer untuk menutup aktifitas lembaga keuangan nasional dan beralih kepada keuangan syariah yang pada kenyataannya belum memilki fasilitas ekport–import misalnya. Hasilnya, banyak rencana investasi di Aceh yang menjadi haba mangat belaka.

Kondisi lain adalah seperti yang banyak diperbincangkan oleh publik, namun tidak berani di kritik karena dianggap masaalah yang sangat sensitif. Yaitu pelaksanaan syariat islam yang sangat kentara pada taraf pelaksan hukuman cambuk. Padahal syariat Islam sesungguhnya adalah menbangun masyarakat madani, sedangkan hukum adalah untuk mempertahankan status madani setelah dasar-dasar masyarakat tersebut telah dilaksanakan secara sempurna.

Pelaksanaan syariat Islam yang lebih ditonjolkan pada hukuman khususnya cambuk sedikit banyaknya telah membuat pro-kontra diberbagai kalangan dan sekali lagi Aceh telah menjadi maoep tersendiri bagi sebagian kalangan.

Mudah-mudahan ini hanya ilusi penulis semata yang sedang galau terhadap kondisi Aceh. Tidak bermaksud menyalahkan tetapi lebih kepada ajakan agar kita mampu berfikir untuk memajukan Aceh yang lebih sejahtera dengan selogan “Aceh tanoeh aulia, beuseujahtera donya akherat”. Semoga!

Post a Comment

Previous Post Next Post