Membangun Aceh dengan Lumpoe


Oleh: T. Murdani

Dosen Prodi Pengembangan Masyarakat Islam
Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Ar-Raniry, Banda Aceh


‘Lumpoe’ atau mimpi dalam bahasa Indonesia merupakan sebuah kata yang sangat abstrak. Dalam keseharian masyarakat Aceh kata lumpoe memiliki dua makna, negatif dan positif. Namun dalam penggunaan sehari-hari di masyarakat Aceh khususnya lumpoe lebih banyak mengandung makna negatif dan abstrak, selebihnya baru bermakna positif.

Misalnya ‘Meulumpoe tingeuh ceut uroe’ (mimpi di siang bolong) merupakan sebuah ekpresi untuk mengatakan sebuah keinginan yang tidak akan tercapai. Atau ‘beik teuga that neu meulumpoe’ (jangan banyak sekali bermimpi) untuk menjelaskan jangan banyak sekali memiliki keinginan yang muluk-muluk. Dan masih banyak lagi ekpresi negative lainnya dari kata lumpoe.

Terlepas dari berbagai macam konotasi yang dikembangkan, sebenarnya kata lumpoe mengandung sebuah energi dan motivasi yang sangat besar dalam kajian pembangunan dan pengembangan masyarakat. Pembangunan dimulai dari sebuah rencana dan rencana kebanyakan berawal dari lumpoe. Namun akan menjadi pungoe kalau hanya berputar-putar didalam lumpoe saja. Untuk menghindari pungoe perlu adanya keinginan untuk move on yakni keinginan untuk merealisasikan mimpi.

Suatu ketika saya pernah satu penerbangan dari Jakarta ke Banda Aceh bersama seorang dengan penampilan yang cukup sederhana dengan jenggot yang dipelihara rapi kelihatan sangat agamis. Kami duduk bersebelahan dan saya hanya menyedekahkan senyum ketika pertama sekali kami saling berpandangan. 

Awalnya saya pikir beliau seorang ustad yang datang ke Aceh untuk mengisi ceramah atau khutbah atau apalah kegiatan keagamaan. Namun ketika kami mulai larut didalam diskusi, saya baru sadar kalau beliau adalah seorang pengusaha yang ingin melakukan penjajakan usahanya di Aceh.

Tentu saja saya tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk bertanya, apa kiat-kiat sukses dan menjadi kaya. Jawaban yang saya terima cukup untuk membuat saya terdiam sesaat, ketika jawaban beliau adalah sebuah pertanyaan kembali untuk saya ‘apakah anda pernah bermimpi untuk menjadi sukses dan kaya?’. Kemudian saya balik bertanya ‘bagaimana maksudnya?’. 

Beliau menjelaskan bahwa untuk sebuah sukses perlu mimpi, ketika anda sudah bermimpi anda sudah memiliki salah satu syarat untuk sukses. Nah bagaimana anda menjadi sukses kalau anda belum pernah bermimpi sekalipun?. Mulailah dari bermimpi dan pilih mimpi yang paling sesuai dengan anda sendiri, kemudian buatlah rencana untuk mewujudkan mimpi tersebut.

Setelah kami mendarat di bandar udara Iskandar Muda, akmi saling bersalaman dan menuju tujuan masing-masing. Saya sendiri langsung menuju ke warung kopi yang ada diseputaran Ulee Kareng karena sudah lama tidak mencium aroma kopi khas Aceh di kampung orang. Sambil menyerumput segelas kopi hitam saya masih membayangkan diskusi sewaktu dipesawat. Kemudian saya teringat beberapa cerita yang saya baca sewaktu kuliah dulu bahwa banyak para penemu (inventors) dulunya mereka mulai dengan mimpi. 

Seperti bagaimana listrik ditemukan, sebut saja Benjamin Franklin yang dianggap sudah gila dengan ocehan mimpinya tentang listrik. Kemudian orang-orang semakin yakin kalau dia sudah gila ketika melakukan percobaan dengan bermain layang-layang dengan kunci besi dan bertalikan wayer ketika sedang hujan dan petir sehingga Franklin terkena sambaran petir. Namun percobaan gilanya dapat kita nikmati hari ini untuk meneranggi malam yang gelap.

Sebagai orang Aceh tentu saja terawangan berakhir dengan pertanyaan apa yang salah dengan Aceh. Apakah selama ini Aceh tidak pernah bermimpi untuk berkembang?. Sehingga terus menerus menjadi daerah paling miskin se Sumatera?. Tiba-tiba saya teringat bahwa pernah ada mimpi untuk membangun Aceh seperti Singapore, kemana mimpi tersebut sekarang? Atau apakah mimpi tersebut kurang cocok dengan karakter Aceh sehingga harus dilupakan?.


Dalam teori pembangunan lumpoe merupakan bahagian penting dari seluruh rancangan. Pemilihan dan seleksi lumpoe merupakan sebuah proses demokrasi untuk membentuk sebuah komunitas sebagaimana diimpikan. Singkatnya, untuk membangun sebuah komunitas perlu lumpoe bersama, dimana lumpoe terbut didiskusi dan direncanakan bersama, kemudian bersama-sama melaksanakannya, dan bersama-sama pula menikmati hasilnya ataupun bersama-sama menanggung beban apabila lumpoe terbut gagal ketika dilaksanakan.

Bersama disini maksudnya adalah susah bersama dan senangpun bersama, bukan seperti sebuah sindiran yang sering kita dengan dalam bahasa Aceh, di laot sapue pakat, didarat laen keunira (ketika susah ditanggung bersama, namun ketika berhasil sudah tidak kenal lagi). Atau sering juga kita lihat ketika berjuang teman menjadi saudara, tetapi ketika sudah berhasil cuma saudara dan kerabat saja yang boleh menikmatinya, sedangkan teman yang sudah bersama ketika susah ke laut saja. 

Seperti sentilan Teungku Jamaika, kalau Abua ada posisi dan jabatan, aneuk keumun yang berijazah dalam bidang pula reuteuk pun dapat SK sebagai tukang ketik surat bulut. Sedangkan yang ahlinya karena bukan kerabat harus melalui ujiian dengan berbagai tahap. Ataupun karena aneuk keumuen dan titipan tanpa mendaftarpun memungkinkan untuk bisa bekerja.

Umumnya kondisi seperti ini terjadi pada masyarakat tradisional, dimana nepotisme sangat kentara dipraktekkan. Atau kalau dulu dikenal dengan sistim feodalisme, hanya kerabat dan orang-orang dekat yang memiliki peluang untuk menikmati posisi dan kemewahan. Dalam kondisi masyarakat seperti ini lumpoe tidak akan bisa berjalan secara normal, karena biasanya kelompok yang mempraktekkan feodalisme akan melarang orang-orang biasa untuk meulumpoe.

Tantangan besar bagi Aceh kedepan adalah bagaimana seluruh elemen masyarakat Aceh harus duduk dan berdiskusi bersama untuk menjaring, menyeleksi, kemudian menyusun rencana dan melaksanakan sebuah Grand lumpoe yang sudah disepakati bersama. Grand lumpoe tersebut tidak boleh berubah sampai habis waktu yang sudah direncanakan, walaupun para pengambil kebijakan berganti baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.

Namun perlu juga untuk meningkatkan kewaspadaan karena lumpoe sangat dekat dengan haba mangat. kewaspadaan ini diperlukan untuk mengurangi jumlah korban haba mangat yang merupakan efek samping dari lumpoe.

2 Comments

  1. Sabee lam lumpoe, hantom lam jaga 😂😂😂

    ReplyDelete
  2. Kadang mereka tidak punya rencana untuk meulumpo...
    Apalagi membangun aceh

    ReplyDelete
Previous Post Next Post