‘Haba Mangat’ dan Kemiskinan Aceh

 

Oleh: T. Murdani

Dosen Prodi Pengembangan Masyarakat Islam,
Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Ar-Raniry, Banda Aceh

Aceh adalah sebuah wilayah yang terletak di ujung barat Pulau Sumatera. Secara geografis Aceh sangat dekat dengan Malaysia, Andaman, dan Thailand. Aceh penah dipimpin oleh raja-raja yang begitu terkena (setidaknya sangat terkenal di Masyarakat Aceh) seperti Iskandar Muda, Ali Mughayatsyah, dan lain-lain. Ketika para Sultan berkuasa, Aceh menjadi kerajaan Islam yang sangat terkenal di Asia.

Aceh mulai redup ketika terjadi revolusi sosial, sebuah perang saudara yang telah mengorbankan putra/putri terbaik yang pernah dimiliki bumi Iskandar Muda. Perang sosial tersebut telah mengakhiri kejayaan Aceh sebagai sebuah kerajaan merdeka yang disegani dan kemudian menjadi bagian dari Republik Indonesia. Walau banyak kalangan yang tidak setuju kemudian memberontak, namun sampai saat ini Aceh masih menjadi provinsi dalam wilayah Republik Indonesia.

Setelah Indonesia merdeka, Aceh mulai berjalan sebagai sebuah provinsi dari negara yang menganut sistim republik. Diawal-awal kegiatan pembangunan, Indonesia mengadopsi sistim sentralistik, dimana semua nya berpusat di Jakarta, dan sistim sentralistik telah menyebabkan ketidak merataan pembangunan. Setelah reformasi 1999, sistim tersebut sedikit berubah dimana daerah mulai mendapatkan otonomi untuk mengurus diri sendiri.

Aceh yang awalnya merupakan daerah istimewa, pada tahun 2005 mendapatkan status otonomi khusus dan berbeda dari provinsi-provinsi lain di negara ini. Disamping kekuatan politik dimana Aceh mendapatkan hak istimewa untuk membentuk partai lokal dan berkiprah ditingkat pemilihan daerah, 

Aceh juga mendapatkan dana otonomi khusus untuk melakukan program-program pembangunan paska konflik terjadi di Aceh. Paska 2005, Aceh selama lima belas tahun dipimpin oleh ‘awak droe”. Walaupun dengan status dan dana otsus yang melimpah ternyata kondisi Aceh belum bergerak kearah yang lebih baik.

Kalau kita mengenang kembali bagaimana program-program pembangunan yang pernah diucapkan oleh para kandidat gubernur atau bupati/walikota ketika berkampnye sangatlah menantang. Katakanlah seperti membangun Aceh seperti Singapore, berhaji dengan kapal pesiar agar ramai orang Aceh yang bisa pergi, gaji satu juta sebulan per kepala keluarga, Investasi UEA, Pengelolaan sendiri Blok B, Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang (BPKS), dan berbagai ‘haba mangat’ lainnya.

Diantara ‘haba-haba mangat’ yang tersebut diatas ada yang sudah menguap sendiri entah kemana dan ada yang sudah berjalan namun tidak jelas manfaatnya. Pengelolaan blok B misalnya, jelas-jelas kalau berpatokan kepada laporan Badan Pusat Statistik tentang kondisi kemiskinan di Aceh, sama sekali tidak ada manfaatnya. 

BPKS yang sudah dibentuk oleh gubernur dari tahun 2000 juga belum mampu berbuat banyak untuk memajukan dan menurunkan kemiskinan di Aceh. Badan Investasi yang telah menhabiskan begitu banyak anggaran pendapatan dan belanja daerah juga belum menghasilkan apa-apa.

Malah ketika BPS menerbitkan laporan angka kemiskinan dan menempatkan Aceh sebagai daerah termiskin di Sumatera, rakyatlah yang disalahkan dengan dalih rakyat Aceh gemar merokok dan malas. Sebuah logika yang sulit untuk dipahami, ketika para elit memiliki akses tidak hanya pada sumber dana tetapi juga kekuasaan yang telah diberikan rakyat untuk mengurus persoalan-persolan kesejahteraan mereka malah mereka yang disalahkan. 

Dalam kondisi ini sebenarnya yang harus dipertanyakan adalah kemampuan para elit Aceh yang mengaku dan mendeklarasikan diri sebagai tokoh Aceh. Sebagai tokoh apakah memiliki konsep pembangunan Aceh yang lebih baik? Atau hanya mampu menikmati fasilitas gratis semata.

Ada yang lebih menggelitik lagi, ketika mantan pejabat menawarkan solusi penurunan angka kemiskinan di Aceh, namun ketika dia masih aktif dalam jabatan tidak mampu berbuat banyak. Tawaran tersebut dapat diklasifikasikan sebagai ‘haba mangat, diateuh haba mangat’.

Di pertengahan 2023 besar kemungkinan akan muncul kembali berbagai ‘haba mangat’, sudah saatnya sebagai masyarakat kita harus waspada bahwa ‘haba mangat’ belum mampu merubah level kemiskinan Aceh di Sumatera. Tidak salah kalau kita harus sedikit berhati-hati dalam memilih ‘haba mangat’, karena kalau salah pilih kita akan gigit jari kembali selama lima tahun kedepan.

Sebenarnya bagi masyarakat tidak membutuhkan yang hal-hal yang aneh, cukup dengan pemenuhan kebutuhan dasar dan program pemberdayaan agar dapat menjadi mandiri. Dengan kondisi Aceh hari ini, hampir semua bidang memiliki potensi untuk diberdayakan. Suplai telur dari Medan masih berlanjut, 

Pisang kapok dari Nias, ikan Nila dan Lele jumbo dari dari Tapanuli Selatan, sayur mayur dari Brastagi, begitu juga dengan buah-buahan. Bahkan Semangka yang diperjualbelikan dipasar buah di pinggir jalan menurut informasi para pedagang di pasok dari Bandar Lampung.

Semenatar kita terlalu sibuk dengan mendengar dan mengharapkan suatu hari ‘haba mangat’ akan memberi kita harta karun untuk dapat bergaya, berbelanja, dan jalan-jalan di mal-mal yang ada di Sumatera Utara. Berhentilah menyebarkan dan mempercayai ‘haba mangat’ karena ‘haba mangat’ tidak mampu merubah Aceh dari kemiskinan menjadi konglomerat.

Semoga pemimpin Aceh kedepan benar-benar memiliki visi untuk mnegmbalikan marwah Aceh seperti yang pernah di kenang didalam sejarah.




Post a Comment

Previous Post Next Post