Oleh: Muhammad Furqan MDMahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dr. Hamidullah Mahmud., L.c., M.AKaprodi Magister Manajemen Dakwah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Proyeksi keimanan yang sangat populer diungkapkan lewat Al-Qur’an yang mana sebuah pedoman dan jalan untuk menuju kepada kebaikan seperti “Al-Qur’an Shalihun li kulli zaman wa makan” yang berarti gambaran atau sebuah peran yang diberikan oleh Allah kepada umat sebagai khalifah di muka bumi dengan memegang peranan penting, seperti ibadah merupakan ibadah utama kala kita berpijak di bumi Allah.
Nasihat yang bersifat kongkrit merupakan hasil manifestasi dari apa yang dilakukan Rasulullah sebagai gambaran yang sangat komprehensif di dalam kehidupan bersosial dan pasti. Sumber terjadinya ialah pada tanggapan yang belakangan ini berkembang dari dalam dan luar lingkungan, seiring berjalannya waktu ini akan mengubah pola pikir umat manusia dari dulu hingga sekarang.
Sebagai contoh kita ambil ketika ilmu pengetahuan merupakan ungkapan dari Al-Qur’an kepada kita sebagai hamba Allah mulai dari dulu hingga sekarang. Seperti yang dikatakan oleh seorang ahli filsafat Islam Imam Al-Ghazali dalam sebuah tulisan “Jawahir Al-Qur’an” bahwa untuk memahami dan mantadabburi Al-Qur’an bukan persoalan yang memakan waktu sedikit bagi seorang pelajar, namun akan memakan waktu lebih banyak untuk bisa memahami bahwasanya setiap huruf dan ayat terdapat intisari dan makna yang mendalam.
Dalam situasi seperti ini yang menjadi ahlul tafsir para sahabat dan Rasulullah sendiri, karena pada mereka terdapat ilmu dan hikmah untuk mentadabburi Al-Qur’an. Karena menurut runtutan perkembangannya tafsir yang diajarkan oleh Rasulullah merupakan tafsir yang secara khusus dan umum terisi secara rinci tentang ilmu Al-Qur’an, setelah itu Rasulullah juga memberikan pedoman serta pengarahan kepada para sahabat terdekatnnya seperti Khulafaur Rasyidin untuk mengawal dan mentadabburi apa yang disampaikan oleh Allah kepadanya Rasulullah.
Tafsir yang disampaikan oleh sahabat sangatlah cenderung seperti yang disampaikan oleh Rasulullah, karena mereka para sahabat semua berguru kepada beliau untuk memahami ilmu Al-Qur’an.
Dewasa ini ada beberapa pemikir Islam mendeskripsikan perubahan serta timbulnya berbagai pandangan terhadap ilmu tafsir merupakan hal yang tidak sesuai dengan keilmuan dalam Al-Qur’an. Sebab dalam hal penafsiran akan membutuhkan berbagai sumber literatur untuk menjawab sebuah masalah dalam Al-Qur’an tentang makna dari setiap ayat.
Dewasa ini ada beberapa pemikir Islam mendeskripsikan perubahan serta timbulnya berbagai pandangan terhadap ilmu tafsir merupakan hal yang tidak sesuai dengan keilmuan dalam Al-Qur’an. Sebab dalam hal penafsiran akan membutuhkan berbagai sumber literatur untuk menjawab sebuah masalah dalam Al-Qur’an tentang makna dari setiap ayat.
Pandangan terkait dengan ilmu Al-Qur’an berdasarkan penemuan metodologi kontemporer yang kontradiktif akan menimbulkan tanggapan yang beragam yang seringkali menempatkan posisi informasi atau khabar dari Al-Qur’an sebagai ukuran yang bersifat mistik. Semacam penambahan bertajuk keilmuan untuk menerobos hasil yang sebenarnya. Padahal upaya tersebut justru akan memposisikan Al-Qur’an secara masif dan akan stagnan untuk dipahami.
Pemahaman Al-Qur’an sebenarnya bukan berbicara ilmu Tafsir saja namun makna yang ditimbulkan dari unsur ruang dan waktu berjalannya ilmu ini. Oleh karena itu perlu adanya upaya yang lebih menjanjikan supaya terciptanya ilmu tafsir yang berlandaskan perkembangan keilmuan lainnya, seperti dari sektor sosial, ekonomi dan budaya dalam menyambut peradaban manusia yang lebih madani.
Persoalannya sekarang ialah bagaimana menempatkan ilmu tafsir sebagai salah satu cabang keilmuan Al-Qur’an yang membahas seputar ilmu Al-Qur’an dan sifatnya, baik secara komunikatif, reformatif dan dialektis untuk menjawab problema kontemporer di masa sekarang ini.
Secara komprehensif ilmu tafsir merupakan cabang keilmuan yang membahas seputar isi kandungan Al-Qur’an, baik secara khusus maupun umum yang dibahas. Keilmuan tafsir menjadi awal terbuktinya alasan mengapa Al-Qur’an dijadikan sebagai pedoman, banyak hal serta peristiwa yang dibahas di dalamnya, sampai peristiwa Rasulullah juga diangkat menjadi sebuah kisah akbar yang sangat diminati oleh umat manusia dimanapun berada.
Secara komprehensif ilmu tafsir merupakan cabang keilmuan yang membahas seputar isi kandungan Al-Qur’an, baik secara khusus maupun umum yang dibahas. Keilmuan tafsir menjadi awal terbuktinya alasan mengapa Al-Qur’an dijadikan sebagai pedoman, banyak hal serta peristiwa yang dibahas di dalamnya, sampai peristiwa Rasulullah juga diangkat menjadi sebuah kisah akbar yang sangat diminati oleh umat manusia dimanapun berada.
Meski begitu tidak semua bisa memperoleh peluang untuk dapat menafsirkan Al-Qur’an dengan sesuka hatinya, karena pada konteks lahiriah Al-Qur’an diciptakan untuk dipelajari secara menyeluruh, namun sesuai dengan rambu-rambu keilmuan dan metode yang disediakan, sehingga tidak melenceng dari konteks yang akan dibahas.
Bagi kaum muslimin dimanapun ia berada, Al-Qur’an tidak hanya membahas seputar alam dunia saja namun Al-Qur’an mengupas secara universal bagaimana penciptaan alam dan seisinya sehingga ada sampai dengan saat ini. Tafsir yang saat ini berkembang di kalangan para cendikiawan merupakan langkah yang paling strategis dan tidak boleh salah langkah dalam menentukan suatu kesimpulan tanpa adanya pedoman.
Maka hal ini sangat disayangkan apabila ada yang mencoba mentadabburinya namun tidak mengikuti konteks yang ada, sehingga akan menimbulkan kesalahpahaman di antara para mufassir/penafsir Qur’an. Dengan berdirinya rambu-rambu, maka ilmu tafsir dapat disimpulkan bahwa ini sangatlah penting dan harus diperhatikan keautentikannya.
Berbicara dalam konteks Keacehan, Al-Qur’an sangat berpengaruh di dalam kehidupan bermasyarakat di Aceh, oleh karena itu pedoman-pedoman yang dipraktikkan di dalam kehidupan sosial merupakan hasil interpretasi dari kajian-kajian Al-Qur’an yang disampaikan oleh orang-orang terdahulu kepada mereka.
Berbicara dalam konteks Keacehan, Al-Qur’an sangat berpengaruh di dalam kehidupan bermasyarakat di Aceh, oleh karena itu pedoman-pedoman yang dipraktikkan di dalam kehidupan sosial merupakan hasil interpretasi dari kajian-kajian Al-Qur’an yang disampaikan oleh orang-orang terdahulu kepada mereka.
Manifestasi yang diungkapkan melalui sejarah sangat berpngaruh dalam pengembangan keilmuan di Searambi Mekkah, Oleh karena itu identitas keAcehan sebagai role model pelaksanakan syariat Islam ditambah lagi dengan kesadaran masyarakat yang begitu terlihat, mengembalikan citra khas dalam ada istiadat. Ilmu syariat yang sejak dahulu disampaikan oleh Rasulullah itu tidak lepas dari pedoman-pedoman Al-Qur’an sebagai tujuan utama umat Islam dalam mengemban amanahnya sebagai khalifah di muka bumi ini.
Dalam proses pembentukan dan penyesuaian adat di Aceh dengan pedoman dari Al-Qur’an tentu sangatlah dekat dengan ketetapan yang dilaksakan oleh masyarakat, sebab secara garis besar tafsir Al-Qur’an serta perkembangannya sudah lama jauh ditulis, sehingga tafsir yang saat ini merupakan interpretasi dan semua itu sudah dipraktikkan, seperti di Aceh terdapat Hukum Jinayat di Aceh yang tertulis di dalam Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014.
Secara garis besar ini merupakan bukti kongkrit sesuai dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 84. Maka sudah jelas dalam konteks keAcehan dan keilmuan Tafsirul Qur’an tidak ada kesalahan baginya yang sudah tertulis jelas untuk sama-sama kita pelajari dan mengamalkan apa yang disampaikan.
Satu hal yang menjadi perhatian penuh dari uraian tentang perkembangan ilmu Al-Quran dalam konteks KeAcehan sehingga terus menjadi pedoman dan gambaran bagi masyarakat untuk tetap konsisten menerapkan syariat Islam. Terutama dalam aspek keadilan dan toleransi beragama dalam melaksanakan negara sebagaimana ditulis dalam al-sulthan al-adil dalam prinsip mereka.
Satu hal yang menjadi perhatian penuh dari uraian tentang perkembangan ilmu Al-Quran dalam konteks KeAcehan sehingga terus menjadi pedoman dan gambaran bagi masyarakat untuk tetap konsisten menerapkan syariat Islam. Terutama dalam aspek keadilan dan toleransi beragama dalam melaksanakan negara sebagaimana ditulis dalam al-sulthan al-adil dalam prinsip mereka.
Ibaratnya manakala pemerintahan yang adil dan mengikuti peraturan yang sesuai diajarkan, maka akan terciptanya keadilan dan hal itu juga sudah diaplikasikan saat Aceh masih berstatus Kerajaan, saat itu Kerajaan Aceh Darussalam dipimpin oleh seorang Sultan yang sangat tegas dalam mempraktikkan asas Islam.
Sebagaimana yang diketahui bahwasanya hal itu merupakan manifestasi dari keontetikan Al-Qur’an untuk disampaikan kepada masyarakat sebagaimana yang telah disampaikan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat.
Ilmu tafsir Dalam Memahami Kandungan Al-Qur'an. Penulis : Muh. Maksum
Dimensi Pembentuk kesadaran identitas keacehan dan citra diri Aceh. Penulis : M. Nazaruddin
Referensi
Jurnal Pemikiran Keislaman dan Kemanusian, Sejarah Perkembangan Ilmu Tafsir. Penulis : Syarif IdrisIlmu tafsir Dalam Memahami Kandungan Al-Qur'an. Penulis : Muh. Maksum
Dimensi Pembentuk kesadaran identitas keacehan dan citra diri Aceh. Penulis : M. Nazaruddin
Tags:
Opini