Meulaboh, Negeri Pasie Karam




Teuku Chik Nagorsyah Ule balang ujong kalak Meulaboh yg juga kepala federasi ulee balang kaway XXVI didepan rumah nya di kampung masjid meulaboh pada tahun1894.Ule balang meulaboh setelah belaiuan digantikan oleh Teuku Ali akbar





Negeri pertama sekali dibangun pada masa kerajaan Aceh di Perintah oleh Sultan Saidil Mukamil (1588-1604). Kemudian pembangunannya diperbaharui pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636) sehingga bertambah maju (Said, 1981). Meulaboh Ketika itu menjadi sentra perkebunan merica, namun dalam perkembangannya Meulaboh tidak mampu menandingi kemajuan Negeri Binuang yang banyak disinggahi kapal dagang untuk mengambil muatan kemenyan dan kapur barus. 

Untuk menarik minat pedagang asing, pada masa pemerintahan Sultan Djamalul Alam, Negeri Pasir Karam ditambah pembukaan kebun lada. Kebun-kebun tersebut membutuhkan banyak sekali tenaga kerja Negeri Pasir Kiram tidak mampu memenuhinya. Oleh karena itu didatangkanlah orang-orang dari Pidie dan Aceh Rayeuk, dan orang-orang Minangkabau yang lari dari negerinya akibat pecahnya perang Padri (1805-1836). 


Paara pendatang dari Minangkabau kemudian hidup berbaur dengan masyarakat setempat. Diantara mereka malah ada yang menjadi pemimpin di Aceh seperti Datuk Machadum Sakti dari Rawa, Datuk Raja Agam dari Luhak Agam. Datuk Raja Alam Sung Sang Buluh dari Sumpu.

Para Datuk ini menebas hutan mendirikan pemukiman yang menjadi tiga daerah, Datuk Machdum Sakti membuka negeri di Merbau, Datuk Raja Agam di Ranto Panyang dan Datuk Raja Alam Sung Sang Buluh di Ujong Kalak yang menikah dengan anak salah seorang yang berpengaruh di sana.


Mereka mengorganisir masyarakat setempat untuk membuka ladang, sehingga kehidupan mereka jadi makmur. Ketiga Datuk itu pun kemudian sepakat untuk menghadap raja Aceh, Sultan Mahmud Syah yang dikenal dengan sebutan Sultan Buyung (1830-1839) untuk memperkenalkan diri.


Ketika menghadap Sultan masing-masing Datuk membawakan satu botol mas urai sebagai buah tangan. Mereka meminta kepada raja Aceh agar memberikan batas-batas negeri mereka. Permintaan itu dikabulkan, Raja Alam Sung Sang Buluh kemudian diangkat menjadi Uleebalang Meulaboh dengan ketentuan wajib mengantar upeti wase tiap tahun kepada bendahara kerajaan.


Para Datuk itu pun setiap tahun mengantar upeti untuk Sultan Aceh, tapi lama kelamaan mereka merasa keberatan untuk menyetor langsung ke kerajaan, karena itu mereka meminta kepada Sultan Aceh yang baru Sultan Ali Iskandar Syah (1829-1841) untuk menempatkan satu wakil sultan di Meulaboh sebagai penerima upeti.

Permintaan ketiga Datuk itu dikabulkan oleh Sulthan, dikirimlah ke sama Teuku Tjiek Purba Lela. Wazir Sultan Aceh untuk pemerintahan dan menerima upeti-upeti dari Uleebalang Meulaboh.


Para Datuk itu merasa sangat senang dengan kedatangan utusan Sultan yang ditempatkan sebagai wakilnya di Meulaboh itu. Mereka pun kemudian kembali meminta pada Sultan Aceh untuk mengirim satu wakil sultan yang khusus mengurus masalah perkara adat dan pelanggaran dalam negeri. 


Permintaan itu juga dikabulkan, Sultan Aceh mengirim kesana Penghulu Sidik Lila Digahara yang menyidik segala hal yang berkaitan dengan pelanggaran undang-undang negeri.

Permintaan itu terus berlanjut. Kepada Sultan Aceh para Datuk itu meminta agar dikirimkan seorang ulama untuk mengatur persoalan nikah, pasahah dan hukum Syariat. 

Maka dikirimlah ke sana oleh Sultan Aceh Teungku Tjut Din, seorang ulama yang bergelar Al-muktasimu-binlah untuk menjadi kadhi Sultan Aceh di Meulaboh.

Meulaboh bertambah maju ketika Kerajaan Aceh dipimpin Sultan Ibrahim Mansjur Sjah (1841-1870) karena semakin banyaknya orang-orang dari Minangkabau yang pindah ke sana, karena Minangkabau saat itu sudah dikuasai Belanda. 


Di sana mereka tidak lagi bebas berkebun setelah Belanda menerapkan peraturan oktrooi dan cultuurstelsel yang mewajibkan warga menjual hasil kebunnya kepada Belanda.

Di Meulaboh para pendatang dari Minangkabau itu membuka perkebunan lada yang kemudian membuat daerah itu disinggahi kapal-kapak Inggris untuk membeli rempah-rempah. 


Karena semakin maju maka dibentuklah federasi Uleebalang yang megatur tata pemerintahan negeri. Federasi itu kemudian dinamai Kaway XVI yang diketuai oleh Uleebalang Keudruen Tjiek Ujong Kala.


Disebut Kaway XVI karena fedrasi itu dibentuk oleh enam belas Uleebalang, yaitu Uleebalang Tanjong, Ujong Kala, Peureumbeu, Gunoeng Meuh, Kuala Meureuboe, Ranto Panyang, Reudeub, Lango Tangkadeuen, Keuntjo, Gume/Mugo, sampai ke sungai mas.

Selain federasi Kaway XVI, di perbatasan Aceh Barat dan Pidie juga terbentuk federasi XII yang terdiri dari 12 Uleebalang yaitu: Pameu, Ara, Lang Jeue, Reungeuet, Geupho, Reuhat, Tungkup/Dulok, Tanoh Mirah/Tutut, Geumpang, Tangse, Beunga, serta Keumala. 


Federasi XII ini dipalai oleh seorang Kejruen yang berkedudukan di Geumpang ujar Datok Mancang Ulebalang yang pernah berkuasa di Kaway XVI hanya bisa dilacak dari T. Tjik Pho Rahman, yang selanjutnya digantikan oleh anaknya yang bernama T.Tjik Masaid, yang selanjutnya ditukar oleh anaknya lagi yang bernama T.Tjik Ali dan digantikan anaknya oleh T.Tjik Abah (sementara) dan selanjutnya ditukar oleh T.Tjik Manso yang memiliki tiga orang anak yang tertua menjadi Raja Meulaboh bernama T.Tjik Raja Nagor yang pada tahun 1913 mati dunia karena diracun


Selanjutnya digantikan oleh saudara kandung yang lebih mudanya yang bernama Teuku Tjik Ali Akbar, sementara anak T.Tjik Raja Nagor yang bernama Teuku Raja Neh, masih kecil.


Saat Teuku Raja Neh (ayah dari H.T.Rosman. mantan Bupati Aceh Barat) anak dari T. Tjik Raja Nagor akbar i menuntut kerajaan dikembalikan kepadanya,

T.Tjik Ali Akbar yang dekat dengan Belanda malah mengfitnah T. Raja Neh sakit gila, sehingga menyebabkan T Raja Neh dibuang ke Sabang.


Pada tahun 1942 Jepang datang ke Meulaboh, T.Tjiek Ali Akbar dibunuh oleh Jepang bersama dengan Teuku Ben, Keujreun Polem dan pada tahun 1988, mayatnya baru ditemukan di Tangsi Belanda atau sekarang di Asrama tentara Kelurahan Suak Indrapuri.



Referensi:

Laman facebook Teuku Malikul Mubin

Said, M. (1981). Aceh sepanjang abad (Vol. 2). Percetakan dan Penerbitan Waspada.




Post a Comment

Previous Post Next Post