Alarm Sosial di Tanah Rencong

Oleh: Rahmatal Riza

Pagi di Banda Aceh selalu memiliki nuansa yang sama, suara azan subuh dari masjid dan meunasah kampung-kampung saling bersahut-sahutan, udara masih sejuk, dan kabut tipis pelan-pelan mulai naik dari persawahan. Di beberapa sudut kota, warung kopi mulai bersiap, para pedagang sayur mulai menggelar dagangannya, para penarik bejak sibuk mencaripelanggan demi menghidupi naka istri yang setia menunggu di rumah.

Namun ada sedikit yang berbeda dipagi ini, bukan nuansa kotanya, bukan pula aktifitas para pencari rezeki subuh, namun merebaknya kabar tak sedap, beberapa waktu lalu di Banda Aceh, belasan orang ditangkap saat pesta narkoba di sebuah hotel. Ironisnya, enam di antaranya positif menggunakan narkoba. Penggerebekan itu dilakukan oleh tim gabunganSatpol PP dan WH Banda Aceh bersama Polresta Banda Aceh. (Sumber: Naratif.co.id/15/04/2025).

Kasus seperti ini sekarang makin sering terdengar, bukan cuma di kota besar, tapi juga sampai ke kampung-kampung yang dulunya dikenal religius, penuh adat, dan kuat ikatansosialnya. Duhulu dari cerita tetua, kampung-kampung di Aceh semua orang saling kenal, saling jaga dan saling mengingatkan untuk kebaikan.

Kalau ada anak muda pulang larut malam tanpa alasan, tetua kampung bakal panggil untukmemberi nasihat, para warga bahu membahu menjaga generasi masa depan dengan penuhtanggung jawab. Sekarang? Kondisi ini mulai hilang seperti bayangan yang ditelan oleh kegelapan malam. Ramai sudah nggak peduli, masing-masing sibuk dengan urusan dunianya.

Sebenarnya ini soal relasi sosial yang mulai longgar. Hubungan antarwarga yang dulu rapatseperti anyaman tikar, sekarang sudah mulai bolong-bolong. Modernisasi, internet, urbanisasi— semua bikin orang sibuk sama urusan sendiri-sendiri. Anak-anak muda lebih betahnongkrong di warung kopi modern atau scroll TikTok sampai subuh daripada kumpul di meunasah.

Padahal, dulu meunasah itu bukan hanya tempat ibadah, shalat dan zikir, menasah merupakanpusat kegiatan masyarakat di kampung. Tempat anak-anak belajar adat, tempat orang tuamusyawarah, ruang ngobrol soal apa saja, termasuk soal siapa yang lagi nakal dan siapa yang patut dipuji.

Sekarang meunasah banyak yang sepi, kalau pun ramai, paling hanya bulan Ramadan ataukenduri. Hari biasa? Umumnya hanya azan lima waktu, itu pun yang datang untuk shalatberjamaah hanya beberapa orang saja. Anak muda semakin jauh, diskusi warga semakinjarang, dan kontrol sosial semakin lemah. Celah seperti ini yang bikin narkoba gampangmasuk. Nggak ada yang awasi, nggak ada yang negur, semua sibuk sama layar masing-masing.

Data dari BNN juga nggak kalah bikin merinding, Aceh termasuk daerah dengan kasusnarkoba yang tinggi. Iya, daerah syariat, adat kuat, tapi barang haram itu tetap saja masuk. Data dari Badan Narkotika Nasional (BNN) yang dirilis lewat pemberitaan Detik.com menyebutkan, Aceh termasuk dalam lima provinsi dengan kasus positif narkoba terbanyak di Indonesia. Daerah yang selama ini dikenal sebagai daerah syariat itu ternyata juga rentandengan peredaran barang haram.mungkin ini alasan utama mengapa gampong-gampongmulai kedengeran cerita soal anak muda yang jadi pemakai, bahkan ada yang ikut jualan. (Sumber: Detik.com/19/012024)

Alasannya macam-macam, ada yang karena susah cari kerja, ikut-ikutan teman, sampai yang katanya buat 'ngilangin stress'. Padahal, stres itu dulu diobatin dengan nongkrong di meunasah, dengar nasehat agama, main voli di lapangan kampung, atau ikut latihan senitradisional seperti saman, rapai, atau bahkan pencak silat.

Parahnya lagi, respon masyarakat kadang cuma heboh di awal, begitu kasus muncul, orang ramai ngomongin. Warung kopi jadi panas, grup WhatsApp penuh gosip. Tapi seminggu dua minggu, kabarnya hilang, orang balik ke rutinitas. Yang kena kasus? Sudah, masuk berita, terus lupa.

Pemerintah paling sibuk razia, tes urine, atau ceramah singkat. Padahal, urusan seperti ininggak cukup ditangani polisi saja. Kalau relasi sosial di kampung nggak diperbaiki, yakasusnya bakal terus ada.

Karena itu, sangat penting bagi masyarakat, mahasiswa, aktivis adat, sampai anak-anak mudakampung buat ikut berpartisipasi untuk menyelesaikan masaalah ini. Jangan cuma menonton, kita perlu hidupin lagi fungsi meunasah, bukan cuma buat shalat, tapi jadi tempat anak-anakmuda ngumpul, diskusi, bahkan curhat.

Coba bayangin, kalau setiap malam ada ngaji bareng, diskusi soal isu kampung, atau sekedarmain catur bareng di meunasah, pasti anak-anak muda nggak bakal sibuk mikirin barangharam itu.

Selain itu, pemuda-pemuda Aceh harus dikasih ruang, jangan terus-terusan dituntut taat tanpadiberi tempat berekspresi. Sebagai contoh izinkan saja kegiatan positif di kampung, semacammusik tradisional, olahraga, seni mural, atau apa pun yang sehat.

Selama ada ruang positif, godaan barang haram bisa dikurangi. Karena seringkali orang nyemplung ke hal buruk bukan karena pengen, tapi karena nggak ada pilihan.

Aceh dulu dikenal daerah adat yang kuat. Sejarahnya keren, rakyatnya berani, solidaritasnyatop.
Tapi sekarang, banyak kampung dengan berbagai kondisi sosialnya mulai longgar. Adat dipegang setengah hati, aturan sosial seperti tinggal tulisan. Tidak mengherankan kalaupenyimpangan sosial semakin gampang masuk. Kalau kita tidak bergerak dari sekarang, jangan heran nanti kampung kita cuma tinggal nama, meunasah tinggal bangunan kosong, dan anak-anak muda Aceh hidup tanpa pegangan.

Kasus di Banda Aceh ini harusnya jadi alarm kencang buat kita semua. Bukan cuma aparat, tapi juga orang tua, tetua kampung, ulama, dan terutama anak muda. Kita harus jujur, Aceh sekarang lagi di persimpangan. Mau terus ngaku daerah adat tapi isinya rusak, atau benar-benar balik ke akar, perbaiki kampung, hidupin lagi relasi sosial, dan jaga anak-anak muda.

Pilihannya ada di kita, tidak perlu muluk-muluk dulu, mulai saja dari hal kecil. Ajak kawan-kawan ke meunasah, bikin diskusi kecil, ngaji bareng, atau lomba bola voli antar dusun. Angkat lagi cerita-cerita adat lama, kenalkan lagi sama sejarah kampung.

Karena kalau anak muda tidak kenal adatnya, jangan harap dia bakal ikun menjaganya.
Jadi, sekali lagi, narkoba itu bukan cuma soal hukum, itu soal sosial, soal adat, soal relasimanusia. Kalau Aceh pengen bebas dari barang haram, ya mulai dari kampung.

Mulai dari meunasah. Mulai dari hati kita masing-masing. Karena di Aceh, kita sudah terlalusering sibuk ngurus orang lain, lupa ngurus kampung sendiri. Semoga konsisi Aceh tetapseperti biasa, negeri syariat penuh dengan adat istiadat dan saling menjaga.

Penulis adalah Mahasiswa Pengembangan Masyarakat Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry

Post a Comment

Previous Post Next Post