Aceh, Provinsi Serasa Negara




Oleh: T. Murdani
Dosen Prodi Pengembangan Masyarakat Islam
Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Ar-Raniry, Banda Aceh


Semenjak bergabung dengan Indonesia, kondisi Aceh terus menerus terpuruk dalam berbagai hal. Pembangunan jalan ditempat yang disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satu faktor yang paling menonjol adalah konflik bersenjata yang berkepanjangan.

Secara idiologi sepertinya Aceh terbagi kepada beberapa kelompok dengan impian masing-masing terhadap Aceh masa depan. Ada yang menginginkan Aceh mejadi negara sendiri, adan yang bercita-cita ingin melaksanakan syri’ah secara kaffah di Aceh.

Ada yang ingin mengmbalikan kejayaan Aceh seperti tempo dulu, ada yang sudah cukup nyaman dengan menjadi provinsi dari Indonesia, dan yang paling banyak sepertinya adalah kelompok yang tidak mau tahu yang penting hidup ini dijalani.

Namun dibalik itu terdapat satu persoalan yang mendasar sehingga Aceh susah move on.

Persoalan tersebut adalah ketika Aceh menjadi bagian dari Indonesia, sebagian pola pikir masyarakat Aceh tidak serta merata menjadi bagian dari Indonesia. Padahal untuk membangun kita butuh pemikiran yang utuh dari mana kita mulai bergerak dan dalam kondisi apa kita sebenarnya.

Konflik sosial merupakan salah satu kendala utama dalam pembangunan. Kondisi sosial suatu mesyarakat akan menentukan pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Kalau kondisi sosialnya tidak nyaman, maka daerah tersebut akan sulit mendapatkan modal pembangunan khususnya dari para investor.

Nah ketika Aceh sudah menjadi bagian dari Republik Indonesia maka semua unsur masyarakat harus membangun narasi pembangunan sebagai sebuah provinsi dari negara kesatuan republik Indonesia (NKRI). Sehingga akan memudahkan dalam merancang pembangunan.

Namun jika Aceh menjadi provinsi dari Indonesia tetapi terasa negara merdeka akan sulit merancang pembangunan karena pola pikir yang dibangun menjadi tidak logis. Sebebas apapun otonomi yang dimiliki Aceh, tetap saja sebagai provinsi Aceh harus tunduk kepada perundang-undangan Republik Indonesia.

Semisal Memorandum of Understanding yang telah di tandatangani di Helsinki, Finlandia yang pada intinya memberikan Aceh sebuah otonomi luas dengan perimbangan keuangan yang cukup menjanjikan dalam mempercepat pembangunan Aceh.

Namun ketikan narasi yang di bangun adalah Self-government untuk kemerdekaan Aceh, telah menyebabkan terjadinya kekacauan sosial di Aceh yang mengakibatkan bukan hanya dalam bidang politik tetapi juga dalam pembangunan.

Semangat yang dibangun bukan lagi berfokus pada pembangunan untuk kemajuan Aceh setelah konflik bersenjata itu sendiri, namun lebih kepada impian-impian yang tidak jelas bagaiman cara mencapainya. Akibatnya dana otonomi khusus yang begitu besar dikucurkan oleh pusat tidak mampu di konversi untuk pembangunan kesejahteraan masyarakat Aceh.

Otoritas membangun daerah sebagai bahagian dari negara tentunya jauh sekali berbeda dengan daerah merdeka. Aceh sebagai bagian dari Indonesia sebagaimana daerah lain tentunya harus tunduk kepada undang-undang republik Indonesia, bukan malah membuat undang-undang sendiri yang kemudian menimbulkan berbagai kekacauan dalam pelaksanaannya.

Qanun Lembaga Keuangan Syariah misalnya, dalam pelaksanaan telah menimbulkan ketidak stabilan ekonomi di Aceh. Single banking sistem yang diterapkan bukan hanya mengganggu hubungan perdagangan Aceh dengan dunia global, tetapi telah menimbulkan berbagai masaalah dengan Jakarta yang menerapkan dual banking sistem.

Banyak kucuran dana pusat seperti beasiswa Program Indonesia Pinter (PIP) yang di salurkan melalui Bank Rakyat Indonesia (BRI) menyebabkan kesulitan besar bagi para pelajar Aceh. Semenjak BRI diharuskan keluar dari Aceh, mereka harus menempuh perjalanan jauh ke Binjai Sumatera Utara untuk mencairkan beasiswa tersebut.

Kekacauan semacan ini sebenarnya tidak perlu terjadi kalau semua isu tidak dipolitisasi untuk kepentingan tertentu. Atau berfikir secara logis dengan melibatkan berbagai kalangan yang mewakili berbagai bidang keilmuan sebelum suatu keputusan diabil.

Atau sudah saatnya Aceh membuat sebuah rapat umum ureung Aceh yang melibatkan lintas tokoh untuk memutuskan apa sebenarnya yang diinginkan Aceh, bagaimana rancangan Aceh masa depan. Kalau itu menjadi keputusan bersama, maka kita akan melaksanakannya bersama walau dengan berbagai persoalan yag akan muncul.

Kalau tidak, maka kita sudah semestinya menjadi bagian dari Republik Indonesia seperti provinsi-provinsi lain, dan merancang pembangunan sebagai bagian dari NKRI.

Post a Comment

Previous Post Next Post