Oleh: Khaliza Zahara
(Alumni Sekolah Kader Pengawas Partisipasi (SKPP) Tahun 2021)
Pemilu merupakan salah satu kanal politik atau instrumen manifestasi kedaulatan rakyat dipraktikkan. Namun dalam setiap pemilu derajat kedaulatan rakyat selalu dipersoalkan khususnya ketika mengukur nilai demokrasi pada suatu sistem kenegaraan. Derajat kedaulatan rakyat bertaut dengan sistem pemilu yang dipilih. Secara teoritik sistem pemilu pada dasarnya dikenal model distrik dan proporsional.
Namun pada fase perkembangannya terdapat model quasi distrik-proporsional yang secara luas dipakai dalam electoral process.
Pertama, sistem distrik yakni suatu wilayah negara dibagi habis ke dalam distrik-distrik. Para pemilih dikelompokkan kedalam distrik-distrik yang penentuannya berdasarkan jumlah penduduk/pemilih. Setiap distrik memilki satu kursi di parlemen yang diperebutkan oleh semua calon dari partai politik peserta pemilu.
Meskipun dalam perkembangannyasatu distrik tidak harus satu wakil, seperti dalam pemilihan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Negara kita menggunakan sistem distrik berwakil banyak (setiap provinsi sebagai distrik di wakili oleh 4 orang DPD).
Pada sistem distrik, bisa memproduksi derajat keterwakilan tinggi. Dalam arti, ia menjanjikan kedekatan antara pemilih dan yang dipilih, memangkas kekuasaan yang berlebihan (penguasa). Saya selaku alumni sekolah kader pengawas partisipatif atau Panteu Demokrasi Pidie dengan lantang menyebut hal tersebut sebagai kekuatan politik yang sering terjerat pada hukum besi oligarki dan menihilkan peluang para calon karbitan.
Fokus pemilihan dalam sistem distrik bukanlah organisasi politik, melainkan individu yang mewakili atau dicalonkan oleh organisasi politik itu di suatu distrik. Sehingga warna individual tampil begitu kental dalam sistem ini dan sebaliknya cenderung memperlemah basis kepartaian dengan mendorong meluasnya personalisasi politik.
Kedua, sistem Proporsional (perwakilan berimbang) yakni jumlah kursi di parlemen yang diperoleh oleh suatu partai politik peserta pemilu sesuai dengan jumlah suara yang diperolehnya dari pemilih. Sehingga jumlah kursi yang diserahkan kepada partai politik sebanding dengan proporsi perolehan suaranya.
Dalam satu daerah pemilihan terdapat banyak kursi dan kursi-kursi itu dibagikan secara proporsional kepada partai politik sesuai dengan jumlah suara yang diperoleh.
Satu partai politik bisa memperoleh lebih dari satu atau dua kursi, sementara partai-partai kecil atau partai baru terbuka peluang juga untuk memperoleh kursi di parlemen.
Beda halnya dengan sistem distrik si calon terpilih dari satu partai politik diberi mandat untuk mewakili aspirasi “seluruh rakyat” di distrik yang bersangkutan (the winer takes-all) secara simultan akan mematikan partai-partai kecil atau partai baru (Duver-ger Law).
Untuk itu sistem proporsional dianggap lebih representatif karena terbuka kesempatan setiap golongan/aliran atau segmen politik potensial terwakili di parlemen.
Ketiga, quasi proporsional-distrik atau hybrid system yakni suatu sistem yang memadukan aspek representatifitas yang menjadi keunggulan sistem proporsional dengan aspek kedekatan pemilih dan terpilih merupakan keunggulan sistem distrik.
Sebenarnya tidak ada sistem pemilu yang ideal, yang bisa diketemukan barangkali sistem pemilu yang paling minim mengandung kelemahan dalam mengartikulasikan suara rakyat (a less disproportional electoral system). Dilihat dari optic representasi suara rakyat, maka proporsonal sistem meminimalisir suara rakyat yang terbuang.
Dalam konteks perpolitikan kita, diskursus antara sistem distrik dan proporsional (perwakilan berimbang) telah usai, maka sistem proporsional yang menjadi pilihan sebab sistem ini dianggap lebih mampu menciptakan parlemen yang menggambarkan karakteristik masyarakat.
Sistem perwakilan berimbang (proporsional sistem) di Indonesia dikombinasikan dengan sistem daftar (list system). Sistem daftar merupakan salah satu varian dalam rumpun sistem pemilu perwakilan berimbang, dimana masing-masing partai mengajukan suatu daftar calon (list of candidates) di suatu daerah pemilihan.
Pemilih memberikan suaranya kepada suatu partai dan partai memperoleh kursi sebanding dengan proporsi terhadap keseluruhan suara sah yang diperoleh. Perwakilan berimbang (proporsional) dilaksanakan dengan sistem daftar terbuka (open list system) sering disebut proporsional terbuka dan sistem daftar tertutup (closed list system) disebut proporsional tertutup.
Pada proporsional tertutup pemilih dibatasi untuk memberikan suaranya hanya kepada satu partai dan tidak dapat menyatakan preferensinya kepada calon yang didominasikan patai, sehingga pemilih hanya memilih partai tidak memilih calon. Model ini dipelesetkan seperti “membeli kucing dalam karung”.
Sementara sistem proporsional terbuka dimana pemilih dapat menyatakan pilihan/preferensinya baik untuk sebuah partai maupun untuk satu calon dari partai tersebut. Pemilih tidak hanya memilih partai tetapi dapat juga memilih calon dari partai yang bersangkutan.
Dilihat dari aspek keterbukaan dari open list system, maka sistem proporsioanal terbuka dibagi dalam beberapa tipe: a) Daftar relatif tertutup/daftar terbuka relatif tertutup/daftar terbuka relatif tertutup (Relatively closed list), b) Daftar lebih terbuka (more open list), c) Daftar paling terbuka (most open list), d) daftar bebas (free list) dan daftar sesukanya (arbitrary list).
Cuplikan sejarah pemilu di negara kita otoritas resmi negara memilih sistem proporsonal sebagai pilihan dengan ragam variannya. Sampai dan sepanjang orde baru menggunakan proporsional dengan daftar calon tertutup (closed list system), pemilu tahun 2004 sistem proporsional terbuka relative tertutup (Relatively Closed List).
Pemilu 2004 dilaksanakan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, pemilih boleh memilih partai atau calon, dan penentuan calon terpilih dilakukan berdasarkan suara terbanyak bilamana suara yang diperoleh calon sama/lebih besar dari angka Bilangan Pembagi Pemilih (BPP).
Artinya apabila kursi di suatu daerah pemilihan 20.000 ribu suara, maka seorang calon harus memperoleh minimal 20.000 ribu suara untuk memperoleh kursi.
Ketika suara yang memilih calon tidak mencapai BPP atau jumlah suara yang diperoleh misalnya tidak mencapai 20.000 ribu, maka calon terpilih ditetapkan menurut nomor urut.
Ketika sistem itu digunakan pada pemilu 2004 hanya 2 orang calon yang mampu memenuhi BPP dari 550 anggota DPR-RI. Sistem ini lalu diperbaiki dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 yang menganut Daftar Lebih Terbuka (More Open List), dimana standar pencapaian perolehan suara untuk terpilih sebagai anggota DPR dan DPRD tidak lagi 100% BPP, melainkan diturunkan menjadi 30% BPP.
Sistem ini tidak sempat dijalankan karena keburu dibatalkan oleh Mahkamah Konstitus. MK menyatakan penetapan calon terpilih anggota DPR dan DPRD tidak boleh berbasis pada terpenuhi atau tidaknya angka BPP atau berdasarkan nomor urut calon, melainkan mesti dilakukan berdasarkan suara terbanyak.
Sehingga mulai pemilu 2009, 2014, dam 2019 penetapan calon terpilih berdasarakan perolehan suara terbanyak (Daftar Paling Terbuka) atau (Most Open List atau proporsional terbuka murni).
Pemilihan pada sistem proporsional terbuka (murni) yang dianut hari ini tidak lahir begitu saja, tetapi melalui dialektika melelahkan dan sistem ini meresap keunggulan/kelebihan dalam sistm distrik. Pemilu diresultankan dengan demokrasi, maka pemilu dikatakan demokratis apabila rakyat dapat mengakses seluruh variabel pemilu.
Diantara varian sistem proporsional dalam pemilu, maka proporsional terbuka (murni) yang paling demokratis. Bila sistem ini dianggap mereduksi hak-hak partai politik sebagai peserta pemilu, maka titik kompromi yang lebih tepat tidak mesti direspons dengan mengubah menjadi sistem tertutup, melainkan cukup memperbaikinya mengarah pada penguatan partai politik sebagai pilar demokrasi dengan tidak mendistorsi kedaulatan rakyat.
Memperbaiki sistem proporsional terbuka tetap dalam kerangka menempatkan daulat rakyat sebagai penentu, bukan daulat partai politik. Hal tersebut tentunya menyadarkan kita sebagai masyarakat yang melek politik.
Tags:
Opini