Mawar; Apalah Arti Sebuah Nama

 




Oleh: T. Murdani

Dosen Prodi Pengembangan Masyarakat Islam,

Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Ar-Raniry, Banda Aceh

Suatu ketika pernah berkembang sebuah ucapan ‘apalah arti sebuah nama!’. Walau tidak ada penjelasan lebih lanjut apa sebenarnya yang diingin disampaikan dari ucapan tersebut, secara harfiah kita bisa memahami bahwa nama tidaklah begitu penting.

Nama merupakan sebuah identitas untuk merepresentasi diri atau sesuatu, namun dalam representasi tersebut hendaknya tidak terlalu berlebihan. Melebih-lebihkan sesuatu akan menjadi bumerang bagi diri sendiri.

Bercontohlah pada malau, mawar kerab dijadikan nama samaran oleh berbagai kalangan untuk menyembunyikan identitas pelaku, namun mawar tidak pernah menukar atau menyembunyikan identitasnya. Mawar tetaplah mawar yang menjadi pujaan sebahagian orang dan menjadi tanaman untuk keindahan taman.

Tetapi sayangnya nama harumnya mawar sering kali dicatut oleh pelaku kriminal dan berbagai profesi kejahatan lainnya. Sehingga banyak orang yang tertipu dengan nama indahnya mawar, padahal dibalik nama mawar yang disamarkan tersembunyi berbagai kebusukan dan kejahatan.

Sama halnya dengan contoh mawar, ternyata banyak juga korban penipuan nama lainnya yang serupa. Mungkin mereka telah mempelajari strategi pencatuta nama mawar. Kalau mawar sering dipakai dalam dunia kriminal oleh para polisi dan wartawan.

Penipuan lainnya sering juga dipakai oleh kelompok tertentu untuk mencapai tujuan politiknya. Dalam tulisan yang lain saya mengistilahkannya dengan haba mangat.

Kalau di Aceh sangat banyak pencatutan nama semacam mawar. Katakanlah penggunaan slogan MoU Helsinki untuk mencapai kemerdekaan dalam bingkai NKRI. Selogan ini sedikit membingungkan, tetapi banyak orang yang terpedaya.

Padahal kalau mereka sedikit saja mau berfikir, bagaimana bentuk merdeka dalam bingkai NKRI? Saya yakin hanya sedikit orang waras yang bisa menjawab.

Kemudian ada Bank Syari’ah Indonesia dan Bank Aceh Syari’ah yang katanya tidak ada praktek riba, tetapi tetap mempraktekkan kegiatan pengkreditan. Kedua bank tersebut juga harus tunduk kepada aturan Bank Indonesia yang merupakan bapak nya riba.

Walaupun kemudian ketua Dewan perwakilan Rakyat Aceh sudah mengatakan dengan tegas akan merevisi qanun Lembaga Keuangan Syari’ah karena bank tersebut adalah Bank Syariah Indonesia, bukan Bank Syariat Islam. Namun tetap saja seperti cerita bahwa, banyak juga orang kaya ketika Aceh sedang dilanda konflik.

Namun dibalik kondisi tersebut, ada sebuah hal yang menarik, yakni tentang bagaimana memproduksi sebuah nama, yang kemudian dapat dijadikan sebuah penyamaran untuk membuat banyak orang galau. Disini tentu membutuhkan kemampuan, keberanian, dan resiko yang sangat tinggi.

Kemudian yang paling menarik adalah ketika ramai orang yang habis-habisan mempertahankan sebuah nama, tetapi tidak memahami apa wujud asli dibalik sebuah nama tersebut. Maka terciptalah perkataan ‘apalah arti sebuah nama?’.

Coba misalnya kalau nama samaran yang dipakai itu mawar, dan dibalik nama samaran tersebut ternyata seorang penjahat brutal, perampok sadis, pengedar obat-obat terlarang dan sebagainya. Apakah orang-orang akan tetap memanggilnya mawar?

Sangat memungkinkan, kondisi seperti inilah yang menyebabkan Aceh selalu mengalami riak-riak persoalan sosial yang dapat mengganggu stabilitas program pembangunan. Padalah indatu kita sudah dengan sangat jelas memperingatkan. Suleit keu pangkai, kanjai keu laba...

Untuk menyelesaikan berbagai persoalan pembangunan yang selalu ada riak-riak kecil di Aceh, atau pro-kontra terhadap berbagai kebijakan. Syariat Islam yang sudah diberikan kepada Aceh senjak tahun 1999 melalui UU No 44 tahun 1999, dan kemudian dikuatkan melalui UU. No 18 tahun 2001, ditambah lagi dengan UU No 11 tahun 2006 dijadikan landasan dalam membangun Aceh sebagai Bansa Teuleubeih Ateuh Rueng Donya kedepan.

Dinas Syariat Islam sudah saatnya menginisiasi konsep pembangunan dan pengembangan masyarakat Islam. Konsep yang dapat membangun persatuan umat dan menjadi basis masyarakat madani modern.

Jangan jadikan Syariat Islam di Aceh bernasib seperti mawar yang namanya dipakai untuk menutupi nama penjahat yang meresahkan masyarakat. Dinas Syariat Islam Aceh bersama Generasi muda Islam Aceh harus mampu membangun konsep pembangunan masyarakat Islam yang nyata untuk menjadikan Aceh sebagai negeri dan masyarakat madani.

Semoga!




Post a Comment

Previous Post Next Post