Oleh: T. Murdani
Dosen Prodi Pengembangan Masyarakat Islam, Fakultas Dakwah
dan Komunikasi, UIN Ar-Raniry, Banda Aceh
Persoalan kemiskinan Aceh nyaris sudah menjadi agenda tahunan untuk dibicarakan, diperdebatkan, dan di beritakan oleh media. Dengan berandalkan rilis dari Badan Pusat Statistik, berbagai kalangan memberikan tanggapan, opini, dan kritikan terhadap kebijakan pemerintah.
Namun seiring waktu berlalu, persoalan kemiskinan tersebut akan terlupakan dan hilang dari pembicaraan. Isu tersebut akan menggema kembali ketika Badan Pusat Statistik merilis kembali laparan mereka ditahun depan atau ketika ada politisi yang berbicara melalui media tentang kondisi kemiskinan di Aceh.
Kondisi seperti ini sudah terjadi bertahun-tahun, goreng-menggoreng isu dengan menggunakan bumbu spesial sudah menjadi tradisi yang selalu dijaga untuk melanggengkan masaalah kemiskinan agar tetap terjaga. Sulit di rasionalisasikan, kala Aceh memiliki hampir segalanya tetapi persoalan kemiskinan tidak mampu diatasi.
Apa yang tidak dimiliki Aceh?
Aceh memiliki kucuran dana khusus setelah penandatanganan MoU Helsinki. Dana tersebut merupakan sebuah kompensasi untuk mengejar pembangunan yang tertunda selama konflik terjadi ditambah dengan bencana alam gempa bumi dan tsunami. Berbagai Lembaga Dunia telah hadir di Aceh untuk membantu agar Aceh bisa bangkit setelah beberapa kawasan porak-poranda karena gempa bumi dan tsunami di tahun 2004. Lembaga-lembaga dunia tersebut tidak sedikit meninggalkan legasi di Aceh dengan berbagai program pembangunan yang telah mereka lakukan.
Disisi lain, seperti halnya dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia, setiap gampoeng dikucurkan dana desa agar setiap unit pemerintah terkecil di republik ini dapat merencanakan pembangunan yang lebih menyentuh kebutuhan rakyat. Bagi keluarga miskin dan kurang sejahtera deberikan bantuan khusus seperti Beras untuk keluarga Miskin (Raskin), Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Langsung Tunai (BLT), untuk berobat diberikan bantuan mealui BPJS Kesehatan, dan bantuan-bantuan lainnya.
Para elit politik khususnya anggota legislative setiap tahun menganggarkan bantuan berupa modal usaha kelompok kepada para konstituen mereka melalui dana aspirasi. Dengan jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh ditambah dengan Dewan Perwakilan Kabupaten/Kota, apakah tidak mampu menyelesaikan persoalan kemiskinan Aceh yang hanya 818,47 orang? Dengan memakai logika sederhana saja, seharusnya Aceh hanya membutuhkan waktu sepuluh sampai lima belas tahun untuk menuntaskan persoalan kemiskinan yang selalu menjadi bahan dagangan publik.
Disamping itu Aceh memiliki kesuburan dan suber daya alam yang luar biasa, jauh sekali berbeda dengan negara-negara di Afrika yang tandus atau negara-negara yang memilki empat musim dimana masa produksi pertanian sangat terbatas. Sebuah pertanyaan penting yang harus menjadi perhatian kita Bersama adalah, apakah berlimpahnya sumberdaya alam juga dibarengi dengan sumber daya manusia?
Sektor pendidikan merupakan elemen yang sangat erat kaitannya dengan kemampuan untuk mengelola sumber daya manusia, karena pendidikan bertujuan untuk memproduksi sumberdaya manusia. Disisi lain, kemiskinan tidak dapat dipisahkan dari tingkat Pendidikan, walau pendidikan tidak menjanjikan pekerjaan yang bagus, namun pada umumnya orang-orang miskin itu kebanyakan mereka yang tidak memiliki latarbelakang Pendidikan baik pendidikan agama maupun pendidikan umum.
Pada umumnya masyarakat yang kurang memiliki akses terhadap pendidikan di Aceh tinggal di pedesaan dan daerah-daerah terpencil dipedalaman atau pulau-pulau kecil. Hidup dalam kondisi sangat sederhana dan saling bantu membantu terhadap anggota komunitasnya. Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Thailand sebagaimana di gambarkan oleh Rambo (2017), bahwa masyarakat pedesaan di Thailand cendrung menjalankan sistem sosial konvensional. Lebih lanjut dijelaskannya bahwa model konvensional dicirikan oleh praktik egaliter, tingkat pendidikan yang rendah, integrasi dan akses yang terbatas pada ekonomi nasional dan sistem sosial, serta solidaritas sesama anggota masyarakat yang tinggi.
Kondisi warga komunitas seperti ini memiliki tingkat kesulitan yang mengkhawatirkan dalam menerima program-program pembangunan dari pemerintah. Sehingga pemerintah harus melakukan berbagai upaya penyesuaian sistim pelaksanaan program yang sebenarnya sangat tidak sesuai dengan sistim anggaran yang ada. Persoalan seperti ini menjadi persoalan tersendiri bagi negara yang sedang berkembang seperti Indonesia dan untuk Aceh khususnya.
Kondisi seperti ini sudah terjadi bertahun-tahun, goreng-menggoreng isu dengan menggunakan bumbu spesial sudah menjadi tradisi yang selalu dijaga untuk melanggengkan masaalah kemiskinan agar tetap terjaga. Sulit di rasionalisasikan, kala Aceh memiliki hampir segalanya tetapi persoalan kemiskinan tidak mampu diatasi.
Apa yang tidak dimiliki Aceh?
Aceh memiliki kucuran dana khusus setelah penandatanganan MoU Helsinki. Dana tersebut merupakan sebuah kompensasi untuk mengejar pembangunan yang tertunda selama konflik terjadi ditambah dengan bencana alam gempa bumi dan tsunami. Berbagai Lembaga Dunia telah hadir di Aceh untuk membantu agar Aceh bisa bangkit setelah beberapa kawasan porak-poranda karena gempa bumi dan tsunami di tahun 2004. Lembaga-lembaga dunia tersebut tidak sedikit meninggalkan legasi di Aceh dengan berbagai program pembangunan yang telah mereka lakukan.
Disisi lain, seperti halnya dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia, setiap gampoeng dikucurkan dana desa agar setiap unit pemerintah terkecil di republik ini dapat merencanakan pembangunan yang lebih menyentuh kebutuhan rakyat. Bagi keluarga miskin dan kurang sejahtera deberikan bantuan khusus seperti Beras untuk keluarga Miskin (Raskin), Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Langsung Tunai (BLT), untuk berobat diberikan bantuan mealui BPJS Kesehatan, dan bantuan-bantuan lainnya.
Para elit politik khususnya anggota legislative setiap tahun menganggarkan bantuan berupa modal usaha kelompok kepada para konstituen mereka melalui dana aspirasi. Dengan jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh ditambah dengan Dewan Perwakilan Kabupaten/Kota, apakah tidak mampu menyelesaikan persoalan kemiskinan Aceh yang hanya 818,47 orang? Dengan memakai logika sederhana saja, seharusnya Aceh hanya membutuhkan waktu sepuluh sampai lima belas tahun untuk menuntaskan persoalan kemiskinan yang selalu menjadi bahan dagangan publik.
Disamping itu Aceh memiliki kesuburan dan suber daya alam yang luar biasa, jauh sekali berbeda dengan negara-negara di Afrika yang tandus atau negara-negara yang memilki empat musim dimana masa produksi pertanian sangat terbatas. Sebuah pertanyaan penting yang harus menjadi perhatian kita Bersama adalah, apakah berlimpahnya sumberdaya alam juga dibarengi dengan sumber daya manusia?
Sektor pendidikan merupakan elemen yang sangat erat kaitannya dengan kemampuan untuk mengelola sumber daya manusia, karena pendidikan bertujuan untuk memproduksi sumberdaya manusia. Disisi lain, kemiskinan tidak dapat dipisahkan dari tingkat Pendidikan, walau pendidikan tidak menjanjikan pekerjaan yang bagus, namun pada umumnya orang-orang miskin itu kebanyakan mereka yang tidak memiliki latarbelakang Pendidikan baik pendidikan agama maupun pendidikan umum.
Pada umumnya masyarakat yang kurang memiliki akses terhadap pendidikan di Aceh tinggal di pedesaan dan daerah-daerah terpencil dipedalaman atau pulau-pulau kecil. Hidup dalam kondisi sangat sederhana dan saling bantu membantu terhadap anggota komunitasnya. Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Thailand sebagaimana di gambarkan oleh Rambo (2017), bahwa masyarakat pedesaan di Thailand cendrung menjalankan sistem sosial konvensional. Lebih lanjut dijelaskannya bahwa model konvensional dicirikan oleh praktik egaliter, tingkat pendidikan yang rendah, integrasi dan akses yang terbatas pada ekonomi nasional dan sistem sosial, serta solidaritas sesama anggota masyarakat yang tinggi.
Kondisi warga komunitas seperti ini memiliki tingkat kesulitan yang mengkhawatirkan dalam menerima program-program pembangunan dari pemerintah. Sehingga pemerintah harus melakukan berbagai upaya penyesuaian sistim pelaksanaan program yang sebenarnya sangat tidak sesuai dengan sistim anggaran yang ada. Persoalan seperti ini menjadi persoalan tersendiri bagi negara yang sedang berkembang seperti Indonesia dan untuk Aceh khususnya.
Tidak jauh bebeda dengan negara tetangga Malaysia yang juga mengalami kerumitan yang sama sebagaimana dijelaskan oleh Zal (2021), dimana perkembangan masyarakat pedesaan dan terpencil di pedalaman selalu sensitif, dan tidak semua pendekatan bisa dicopy paste karena keadaan kearifan lokal yang berbeda-beda. Sebaliknya, pembangunan seringkali dipandang sebagai hambatan bagi kelompok masyarakat ini karena sebagian besar masyarakat menjadi tergantung pada bantuan.
Mungkin apa yang disampaikan oleh Zal menjadi catatan penting untuk Aceh, dengan tingat Pendidikan yang ada saat ini, program-program bantuan sementara dari pemerintah yang bertujuan untuk memberi dukungan agar berkembang dijadikan sumber pendapatan sehingga menimbulkan kondisi ketergantungan yang sangat susah untuk diubah. Sementara pelaksaan program-program pembangunan menjadi tertunda karena berbagai kondisi kearifan lokal yang tidak mendukung terhadap pelaksanaan program tersebut.
Persoalan kurangnya sumberdaya manusia yang tidak mendukung program pembangunan bukan hanya terjadi di Aceh atau Indonesia. Tetapi kondisi ini juga menjadi catatan penting bagi pemerintah Australia terhadap keterlibatan suku Aborigin dalam setiap kegiatan pembangunan.
Mungkin apa yang disampaikan oleh Zal menjadi catatan penting untuk Aceh, dengan tingat Pendidikan yang ada saat ini, program-program bantuan sementara dari pemerintah yang bertujuan untuk memberi dukungan agar berkembang dijadikan sumber pendapatan sehingga menimbulkan kondisi ketergantungan yang sangat susah untuk diubah. Sementara pelaksaan program-program pembangunan menjadi tertunda karena berbagai kondisi kearifan lokal yang tidak mendukung terhadap pelaksanaan program tersebut.
Persoalan kurangnya sumberdaya manusia yang tidak mendukung program pembangunan bukan hanya terjadi di Aceh atau Indonesia. Tetapi kondisi ini juga menjadi catatan penting bagi pemerintah Australia terhadap keterlibatan suku Aborigin dalam setiap kegiatan pembangunan.
Hal ini dijelaskan oleh Anderson (2007) dalam sebuah hasil penelitiannya dimana meskipun masyarakat aborigin di Australia menikmati keuntungan dari berbagai industri yang berkembang di Australia, namun mereka masih menghadapi kendala karena kemampuan mereka yang kurang untuk terlibat secara menyeluruh dalam setiap kesempatan kerja yang tersedia.
Mereka kebanyakan menghadapi kesulitan dalam mengadopsi dan mentolerir kebijakan-kebijakan pembangunan yang bertujuan untuk mengatasi kemiskinan untuk mencapai kemakmuran.
Salah satu strategi untuk menyelesaikan persoalan kemiskinan di Aceh, Pemerintah Aceh harus menjadikan investasi pendidikan sebagai perioritas pembangunan. Investasi pendidikan tidak hanya di jalur formal tetapi juga jalur informal seperti menghidupkan Balai Latihan Kerja (BLK). Namun kurikulum BLK hendaknya di lakukan sedikit reformasi agar tidak hanya terbatas pada jahit menjahit, mengelas ataupun perbengkelan.
Salah satu strategi untuk menyelesaikan persoalan kemiskinan di Aceh, Pemerintah Aceh harus menjadikan investasi pendidikan sebagai perioritas pembangunan. Investasi pendidikan tidak hanya di jalur formal tetapi juga jalur informal seperti menghidupkan Balai Latihan Kerja (BLK). Namun kurikulum BLK hendaknya di lakukan sedikit reformasi agar tidak hanya terbatas pada jahit menjahit, mengelas ataupun perbengkelan.
Sudah saatnya BLK terjun pada pelatihan-pelatihan terhadap kaum milenial, seperti pelatihan youtuber, blogger, atau platform media sosial lainnya yang dapat menghasilkan uang. Disamping pelatihan pertanian, peternakan, dan produksi skala kecil yang akan berkontribusi terhadap tumbuhnya UMKM.
Pengalaman gagalnya rencana investasi pabrik semen di Laweung, gagalnya investasi pulau banyak, gagalnya berbagai investasi di KIA Ladoeng sudah cukup sebagai bukti bahwa Aceh bukan hanya sumberdaya manusia nya tetapi juga kurangnya sumberdaya kelompok elit dalam mebuat kebijakan untuk pembangunan daerah.
Semoga kedepan Pemerintah Aceh lebih menfokus pada pembangunan sumber daya manusia dalam menunjang program-program pembangunan. Dengan demikin persoalan kemiskinan di Aceh dapat dikurangi agar tidak terus meningkat disetiap tahunnya.
Zal, W. A. (2021). Development Approaches for the Orang Asli Laut as an Indicator of “Leaving No One Behind”?. Making SDGs matter: Leaving no one behind, 52.
Anderson, I. (2007). The end of Aboriginal self-determination?. Futures, 39(2-3), 137-154.
Pengalaman gagalnya rencana investasi pabrik semen di Laweung, gagalnya investasi pulau banyak, gagalnya berbagai investasi di KIA Ladoeng sudah cukup sebagai bukti bahwa Aceh bukan hanya sumberdaya manusia nya tetapi juga kurangnya sumberdaya kelompok elit dalam mebuat kebijakan untuk pembangunan daerah.
Semoga kedepan Pemerintah Aceh lebih menfokus pada pembangunan sumber daya manusia dalam menunjang program-program pembangunan. Dengan demikin persoalan kemiskinan di Aceh dapat dikurangi agar tidak terus meningkat disetiap tahunnya.
Referensi;
Rambo, A. T. (2017). From poor peasants to entrepreneurial farmers: The transformation of rural life in Northeast Thailand.Zal, W. A. (2021). Development Approaches for the Orang Asli Laut as an Indicator of “Leaving No One Behind”?. Making SDGs matter: Leaving no one behind, 52.
Anderson, I. (2007). The end of Aboriginal self-determination?. Futures, 39(2-3), 137-154.
Tags:
Opini