Dalam Islam pengembangan masyarakat Islam dilakukan melalui kegiatan dakwah. Oleh karena itu dakwah adalah ajakan untuk merubah kondisi hidup dari yang kurang baik menjadi lebih baik. Inilah yang menjadi inti dari diutusnya nabi Muhammad SAW, yaitu untuk merubah kondisi hidup manusia pada umumnya dan masyarakat Arab pada khususnya yang pada saat itu hidup dalam kondisi “Jahiliyah”.
Sebagaimana disebutkan dalam setiap muqaddimah ceramah, khutbah, ataupun pidato, “nabi Muhammad yang telah membawa umatnya dari kehidupan jahiliyah kepada kehidupan Islamiyah, dari alam kebodohan kepada alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan. Disini dapat dipahami bahwa kehidupan Islamiyah dan alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan lebih baik daripada Jahiyah dan kebodohan.
Ketika nabi Muhammad menghadapi ujian dan tantangan hebat di Mekkah, beliau diperintahkan untuk hijrah ke Madinah, disanalah beliau mulai membangun peradaban Islam yang sebenarnya, sehingga kota Madinah menjadi suatu komunitas Madaniyah yang tidak hanya berfokus pada Ibadah tetapi meliputi Mesjid tempat Ibadah, kemudian dikelilingi oleh pasar sebagai fondasi ekonomi umat, tentara untuk melindungi dari ancaman keamanan, dan perjajian dengan kelompok laing untuk memastikan pembangunan dapat dilaksanakan dengan baik, nyaman, dan aman.
Setelah nabi Muhammad wafat, pengembangan masyarakat mengalami berbagai fase, dimulai dengan masa feodalisme, kolonialisme, industrialisasi, perang dunia ke dua dan paska perang.
Fase Feodalisme
Masa feodalisme merupakan salah satu fase penting dalam sejarah perkembangan sosial-ekonomi masyarakat. Feodalisme, yang secara umum dipahami sebagai sistem sosial dan ekonomi berbasis kepemilikan tanah serta hubungan patron-klien, berkembang di berbagai belahan dunia, baik di Eropa Abad Pertengahan maupun di Asia, termasuk Nusantara. Sistem ini ditandai dengan adanya kelas aristokrat yang menguasai tanah dan sumber daya, serta kelompok petani atau rakyat kecil yang menggantungkan hidupnya pada elite pemilik tanah melalui kewajiban kerja maupun pajak hasil panen (Bloch, 1961).Dalam konteks pengembangan masyarakat, feodalisme menciptakan struktur sosial yang hierarkis dan menekankan ketergantungan. Rakyat desa tidak memiliki akses langsung terhadap sumber daya, melainkan harus melalui tuan tanah. Kondisi ini membatasi inisiatif individu maupun kolektif dalam mengembangkan kapasitas masyarakat. Akses pada tanah, yang menjadi sumber utama produksi, bersifat eksklusif dan terkonsentrasi pada segelintir elite. Akibatnya, pembangunan ekonomi lokal sering terhambat karena produktivitas masyarakat terikat pada kepentingan feodal (Hilton, 1973).
Namun, feodalisme juga memberikan kerangka stabilitas sosial tertentu. Dalam situasi politik yang belum stabil, sistem patron-klien memastikan adanya perlindungan bagi rakyat kecil dari ancaman eksternal, seperti perampokan atau invasi. Patron (tuan tanah atau bangsawan) menyediakan keamanan dan jaminan hidup minimum, sementara klien (petani) membayar dengan tenaga kerja atau sebagian hasil panen. Hal ini menciptakan pola ketergantungan yang pada satu sisi menghambat otonomi masyarakat, namun pada sisi lain menjadi fondasi bagi keteraturan sosial (Scott, 1976).
Keterkaitan feodalisme dengan pengembangan masyarakat dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, dari segi hambatan, feodalisme melanggengkan kemiskinan struktural. Konsentrasi kekuasaan ekonomi-politik di tangan elite mempersempit ruang partisipasi masyarakat. Inovasi dan diversifikasi ekonomi desa sering tertahan oleh kewajiban feodal. Kedua, dari segi transisi, feodalisme menjadi batu loncatan menuju sistem sosial baru. Perubahan dari feodalisme ke kapitalisme, sebagaimana dianalisis oleh Marx, membuka jalan bagi transformasi masyarakat desa melalui pembentukan kelas buruh dan terciptanya pasar tenaga kerja bebas (Marx, 1976).
Dalam konteks Indonesia, jejak feodalisme terlihat jelas pada masa kerajaan-kerajaan tradisional dan kolonialisme. Sistem tanam paksa (Cultuurstelsel) pada abad ke-19, misalnya, memperlihatkan reproduksi hubungan feodal yang diintegrasikan dengan kepentingan kolonial Belanda. Rakyat desa diwajibkan menanam tanaman ekspor untuk kepentingan kolonial, sementara elite lokal berperan sebagai perantara yang menjaga kepatuhan rakyat (Elson, 1994). Pola ini berdampak panjang terhadap struktur sosial pedesaan, terutama dalam hal ketergantungan ekonomi dan lemahnya kapasitas masyarakat untuk membangun kemandirian.
Pengembangan masyarakat modern yang menekankan partisipasi, kemandirian, dan pemerataan, dapat dipandang sebagai respons terhadap warisan feodalisme. Strategi pembangunan berbasis masyarakat (community-based development) berusaha membalikkan relasi kuasa yang timpang dengan memberikan ruang bagi partisipasi warga, penguatan kapasitas lokal, dan pengelolaan sumber daya secara kolektif (Ife & Tesoriero, 2006). Oleh karena itu, memahami masa feodalisme penting dalam analisis sejarah pembangunan masyarakat, karena warisan strukturalnya masih dapat dirasakan dalam ketimpangan sosial-ekonomi hingga masa kini.
Fase Kolonialisme
Kolonialisme merupakan periode sejarah yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan masyarakat, khususnya di wilayah-wilayah yang berada di bawah kekuasaan bangsa Eropa sejak abad ke-16 hingga abad ke-20. Kolonialisme bukan hanya praktik ekspansi politik dan ekonomi, tetapi juga sebuah sistem yang membentuk struktur sosial, budaya, dan pola penghidupan masyarakat lokal (Loomba, 2005). Dalam konteks pengembangan masyarakat, kolonialisme menghadirkan ambivalensi: di satu sisi memberikan akses pada teknologi, pendidikan, dan jaringan global, namun di sisi lain mengekalkan ketimpangan struktural dan eksploitasi sumber daya.Di Hindia Belanda, sistem kolonial secara langsung membentuk arah pembangunan masyarakat pedesaan. Salah satu contoh yang paling menonjol adalah Cultuurstelsel atau sistem tanam paksa pada 1830–1870. Dalam sistem ini, petani diwajibkan menanam tanaman ekspor seperti kopi, tebu, dan nila di sebagian tanahnya untuk kepentingan kolonial. Walaupun menghasilkan keuntungan besar bagi Belanda, sistem ini menimbulkan penderitaan luas bagi rakyat pribumi, termasuk kelaparan di beberapa daerah seperti Jawa Tengah (Elson, 1994). Pola ini memperlihatkan bahwa kolonialisme menempatkan masyarakat lokal sebagai objek eksploitasi, bukan subjek pembangunan.
Selain eksploitasi ekonomi, kolonialisme juga membentuk struktur sosial baru. Elite tradisional, seperti raja atau bangsawan lokal, sering dijadikan perpanjangan tangan pemerintah kolonial untuk mengontrol rakyat. Hal ini menciptakan dualisme kekuasaan dan memperkuat pola ketergantungan masyarakat pada struktur hierarkis. Model ini mempersempit ruang partisipasi rakyat dalam menentukan arah pengembangan komunitasnya sendiri (Ricklefs, 2001).
Meskipun demikian, kolonialisme tidak hanya menghasilkan dampak negatif. Beberapa kebijakan modernisasi kolonial, seperti pembangunan infrastruktur (jalan, pelabuhan, rel kereta api) dan pengenalan pendidikan formal, secara tidak langsung membuka ruang baru bagi transformasi masyarakat. Pembangunan infrastruktur memudahkan integrasi ekonomi antarwilayah, sementara pendidikan melahirkan kelas menengah pribumi yang kelak menjadi pelopor pergerakan nasional (Vickers, 2005). Dengan kata lain, kolonialisme secara paradoks menciptakan kondisi yang kemudian memungkinkan munculnya kesadaran kritis dalam masyarakat terjajah.
Dalam perspektif pengembangan masyarakat, masa kolonial dapat dipahami sebagai fase transisi. Di satu sisi, kolonialisme memperkuat pola pembangunan top-down, dengan keputusan yang sepenuhnya dikendalikan oleh penguasa asing. Di sisi lain, pengalaman eksploitasi kolonial justru melahirkan kesadaran akan pentingnya pembangunan berbasis partisipasi lokal setelah masa kemerdekaan. Gerakan nasionalisme Indonesia, misalnya, lahir dari kontradiksi kolonial tersebut. Nasionalisme tidak hanya menuntut kemerdekaan politik, tetapi juga menekankan pentingnya kemandirian ekonomi dan sosial sebagai dasar pengembangan masyarakat (Sartono, 1982).
Fase Industrialisasi
Fase industrialisasi merupakan tonggak penting dalam sejarah transformasi sosial-ekonomi dunia. Industrialisasi ditandai dengan peralihan dari sistem produksi agraris tradisional menuju produksi berbasis mesin dan pabrik, yang pertama kali muncul di Inggris pada akhir abad ke-18 dan kemudian menyebar ke Eropa, Amerika, hingga Asia. Perubahan ini bukan sekadar kemajuan teknologi, melainkan sebuah revolusi sosial yang mengubah struktur masyarakat, pola hubungan kerja, serta strategi pengembangan komunitas (Ashton, 1997).Salah satu dampak utama industrialisasi adalah urbanisasi. Perpindahan besar-besaran tenaga kerja dari desa ke kota menciptakan pusat-pusat industri baru. Kota-kota industri seperti Manchester dan Birmingham di Inggris berkembang pesat sebagai pusat produksi, namun juga menghadirkan masalah sosial seperti kemiskinan, pemukiman kumuh, dan eksploitasi buruh. Fenomena ini memperlihatkan bagaimana industrialisasi menghadirkan peluang sekaligus tantangan bagi pengembangan masyarakat (Engels, 1845/2009).
Dalam konteks ekonomi, industrialisasi membuka peluang pertumbuhan dan mobilitas sosial. Produksi massal memungkinkan penurunan harga barang, memperluas akses masyarakat terhadap kebutuhan sehari-hari, dan meningkatkan standar hidup secara bertahap. Selain itu, kelas pekerja industri mulai menyadari pentingnya organisasi sosial, yang kemudian melahirkan serikat buruh dan gerakan sosial sebagai sarana memperjuangkan hak-hak pekerja (Thompson, 1963). Hal ini menandai pergeseran dalam konsep pengembangan masyarakat dari sekadar ketahanan subsisten menuju penguatan kapasitas kolektif.
Di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, industrialisasi sering kali diperkenalkan melalui kebijakan pembangunan nasional pascakolonial. Program industrialisasi pada era Orde Baru, misalnya, berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dengan mendirikan industri padat karya dan substitusi impor. Kebijakan ini berhasil menciptakan lapangan kerja baru, tetapi juga memperlebar kesenjangan antara desa dan kota. Migrasi tenaga kerja desa ke kota menimbulkan masalah sosial baru, seperti urbanisasi liar dan melemahnya ikatan sosial di pedesaan (Booth, 1998).
Dari perspektif pengembangan masyarakat, industrialisasi memiliki dua sisi yang saling terkait. Pertama, industrialisasi dapat menjadi motor pembangunan karena memperluas lapangan kerja, meningkatkan keterampilan masyarakat, dan menciptakan basis ekonomi yang lebih beragam. Kedua, industrialisasi juga menimbulkan dislokasi sosial, ketimpangan gender dalam dunia kerja, serta kerusakan lingkungan yang memengaruhi kualitas hidup masyarakat. Oleh karena itu, strategi pengembangan masyarakat yang berbasis industrialisasi harus memperhatikan aspek keberlanjutan sosial dan ekologis (Giddens, 1990).
Selain itu, industrialisasi turut melahirkan paradigma baru dalam pembangunan, yaitu peran negara dan masyarakat sipil dalam mengatur distribusi manfaat industrialisasi. Negara dituntut untuk menyediakan regulasi ketenagakerjaan, perlindungan sosial, dan fasilitas pendidikan agar masyarakat mampu beradaptasi dengan perubahan struktural. Sementara itu, masyarakat sipil berperan melalui gerakan sosial, koperasi, dan organisasi non-pemerintah yang berfokus pada keadilan sosial dan pemberdayaan komunitas (Ife & Tesoriero, 2006).
Secara keseluruhan, masa industrialisasi menandai transformasi besar dalam sejarah pengembangan masyarakat. Ia memperlihatkan bagaimana perubahan teknologi dan ekonomi dapat mendorong kemajuan sekaligus menciptakan tantangan baru. Oleh karena itu, memahami industrialisasi penting untuk merancang strategi pembangunan yang tidak hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga pada peningkatan kualitas hidup, pemerataan, dan keberlanjutan sosial.
Masa Pasca Perang Dunia II
Perang Dunia II (1939–1945) meninggalkan dampak multidimensi terhadap masyarakat global. Kehancuran infrastruktur, kemerosotan ekonomi, dan dislokasi sosial menciptakan kondisi krisis yang menuntut rekonstruksi besar-besaran. Masa pascaperang kemudian menjadi periode penting bagi lahirnya paradigma baru dalam pembangunan dan pengembangan masyarakat. Berbagai negara, baik pemenang maupun yang baru merdeka, berusaha menyusun kembali struktur sosial-ekonomi mereka dengan menekankan pada stabilitas, kesejahteraan, dan kemandirian (Hobsbawm, 1994).Di Eropa Barat, rekonstruksi masyarakat banyak dipengaruhi oleh Marshall Plan (1948–1952) yang disponsori Amerika Serikat. Bantuan ekonomi tersebut tidak hanya ditujukan untuk membangun kembali infrastruktur fisik, tetapi juga untuk memperkuat kapasitas masyarakat melalui modernisasi industri, reformasi agraria, dan penguatan lembaga sosial. Model ini memperlihatkan bagaimana pembangunan pascaperang berorientasi pada pengembangan masyarakat yang produktif, demokratis, dan terintegrasi dalam sistem global kapitalis (Judt, 2005).
“Marshall Plan adalah sebuah program bantuan ekonomi yang diluncurkan oleh Amerika Serikat pada tahun 1948 untuk membantu negara-negara Eropa Barat pulih dari kehancuran akibat Perang Dunia II. Nama resminya adalah European Recovery Program (ERP), tetapi lebih dikenal dengan sebutan Marshall Plan karena digagas oleh Menteri Luar Negeri AS saat itu, George C. Marshall.”
Selain itu, lahirnya lembaga internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Bank Dunia, dan Dana Moneter Internasional (IMF) juga menandai dimulainya era baru dalam pengembangan masyarakat di tingkat global. Agenda pembangunan yang diusung PBB menekankan pentingnya hak asasi manusia, pengentasan kemiskinan, serta kerja sama internasional dalam bidang pendidikan dan kesehatan. Konsep pembangunan masyarakat pascaperang dengan demikian bergerak ke arah pendekatan multilateral dan partisipatif, yang sebelumnya jarang terjadi pada era kolonial dan feodal (Escobar, 1995).
Bagi negara-negara Asia dan Afrika, periode pascaperang bertepatan dengan gelombang dekolonisasi. Kemerdekaan politik yang dicapai pasca-1945 memunculkan tantangan baru: bagaimana membangun masyarakat yang mandiri setelah sekian lama berada di bawah sistem kolonial. Di Indonesia, misalnya, agenda pembangunan masyarakat difokuskan pada integrasi nasional, redistribusi sumber daya, dan pemberantasan buta huruf. Namun, keterbatasan kapasitas negara dan dampak panjang kolonialisme menciptakan berbagai kesenjangan sosial-ekonomi yang sulit diatasi secara cepat (Kahin, 2003).
Masa pascaperang juga memunculkan dua paradigma besar dalam pengembangan masyarakat: kapitalisme liberal dan sosialisme. Amerika Serikat dan sekutunya mendorong pembangunan berbasis industrialisasi dan ekonomi pasar, sementara Uni Soviet dan negara-negara sosialis menekankan pembangunan yang berfokus pada kolektivisme, pemerataan, dan peran negara yang kuat. Kedua paradigma ini tidak hanya memengaruhi politik global dalam konteks Perang Dingin, tetapi juga membentuk pola pengembangan masyarakat di banyak negara dunia ketiga (Hobsbawm, 1994).
Dari perspektif pengembangan masyarakat, periode pascaperang menekankan pentingnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Teori modernisasi yang populer pada 1950–1960-an, seperti yang dikemukakan oleh Rostow (1960), menekankan bahwa masyarakat tradisional dapat berkembang menuju modernitas melalui tahapan pembangunan ekonomi. Meskipun kemudian dikritik karena bersifat top-down dan bias Barat, teori ini berpengaruh besar terhadap kebijakan pembangunan pascaperang. Pada saat yang sama, pendekatan partisipatif mulai berkembang pada 1970-an, menekankan bahwa pengembangan masyarakat harus memperhatikan konteks lokal, budaya, dan kebutuhan warga (Chambers, 1983).
Secara keseluruhan, masa pasca Perang Dunia II dapat dipahami sebagai periode transformatif dalam sejarah pengembangan masyarakat. Ia memperlihatkan pergeseran dari model kolonial yang eksploitatif menuju paradigma pembangunan nasional dan internasional yang lebih menekankan kesejahteraan, partisipasi, dan kerja sama. Namun, warisan ketimpangan struktural dan ketegangan ideologis global tetap menjadi tantangan dalam mewujudkan pengembangan masyarakat yang adil dan berkelanjutan.
Pengembangan Masyarakat di Indonesia
Pengembangan masyarakat di Indonesia merupakan suatu proses historis dan dinamis yang dipengaruhi oleh konteks sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang beragam. Sebagai negara kepulauan dengan lebih dari 270 juta penduduk, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mewujudkan pemerataan pembangunan. Sejak awal kemerdekaan tahun 1945, agenda pembangunan masyarakat telah menjadi prioritas utama, sejalan dengan cita-cita UUD 1945 untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Hatta, 1954).Pada periode awal kemerdekaan, pengembangan masyarakat berfokus pada integrasi nasional dan pemenuhan kebutuhan dasar. Pemerintah berupaya mengatasi keterbelakangan akibat kolonialisme, seperti buta huruf, kemiskinan, dan kurangnya akses kesehatan. Program Pemberantasan Buta Huruf serta pembangunan lembaga pendidikan rakyat merupakan contoh nyata upaya pemberdayaan masyarakat melalui peningkatan kapasitas sumber daya manusia (Kahin, 2003).
Memasuki era Orde Baru (1966–1998), pengembangan masyarakat diwarnai oleh orientasi pertumbuhan ekonomi yang sentralistis. Pemerintah meluncurkan program-program pembangunan seperti Instruksi Presiden Desa Tertinggal (IDT) dan program Inpres Desa yang fokus pada pembangunan infrastruktur pedesaan. Meskipun berhasil menurunkan angka kemiskinan secara signifikan pada dekade 1970–1980-an, pendekatan top-down ini sering dikritik karena kurang memperhatikan partisipasi masyarakat lokal dan memperlebar kesenjangan antara desa dan kota (Booth, 1998).
Pasca-Reformasi 1998, paradigma pengembangan masyarakat di Indonesia mengalami perubahan penting dengan adanya desentralisasi melalui Undang-Undang Otonomi Daerah (UU No. 22 Tahun 1999). Desentralisasi memberi kewenangan lebih besar kepada pemerintah daerah dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan sesuai dengan kebutuhan lokal. Pada saat yang sama, masyarakat sipil, organisasi non-pemerintah (NGO), dan kelompok komunitas semakin aktif dalam proses pembangunan. Hal ini menandai pergeseran dari pembangunan berbasis negara ke arah pembangunan yang lebih partisipatif dan kolaboratif (Antlöv, 2003).
Dalam konteks pedesaan, pengembangan masyarakat banyak terwujud melalui program Pengembangan Desa Mandiri dan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM Mandiri) yang diluncurkan pada 2007. PNPM menjadi tonggak penting dalam memperkuat partisipasi masyarakat melalui musyawarah desa, pengelolaan dana bergulir, dan kegiatan pemberdayaan perempuan. Evaluasi PNPM menunjukkan adanya peningkatan kapasitas lokal dalam perencanaan pembangunan serta penurunan angka kemiskinan di beberapa daerah (Guggenheim et al., 2004).
Selain aspek ekonomi dan sosial, pengembangan masyarakat di Indonesia juga mencakup dimensi budaya dan religius. Sebagai masyarakat yang majemuk, pengembangan masyarakat tidak hanya menekankan pembangunan fisik tetapi juga penguatan nilai kebersamaan, gotong royong, dan solidaritas sosial. Prinsip gotong royong yang telah mengakar dalam budaya lokal menjadi fondasi penting bagi berbagai program pembangunan, termasuk dalam konteks penguatan ketahanan sosial menghadapi bencana alam maupun konflik sosial (Geertz, 1963).
Di era kontemporer, pengembangan masyarakat di Indonesia menghadapi tantangan baru akibat globalisasi, perubahan iklim, dan transformasi digital. Pemerintah berusaha menjawab tantangan ini melalui program Sustainable Development Goals (SDGs Desa) dan transformasi digital desa. Pendekatan ini bertujuan mengintegrasikan pembangunan ekonomi dengan aspek keberlanjutan lingkungan dan inklusivitas sosial. Dengan demikian, pengembangan masyarakat di Indonesia kini diarahkan pada model pembangunan yang berkelanjutan, partisipatif, dan berbasis kearifan lokal (Ife & Tesoriero, 2006).
Referensi:
Ashton, T. S. (1997). The Industrial Revolution (1760–1830). Oxford: Oxford University Press.Binns, T. & Nel, E. (2021). Community Development in an Uncertain World.
Bloch, M. (1961). Feudal Society. Chicago: University of Chicago Press.
Booth, A. (1998). The Indonesian Economy in the Nineteenth and Twentieth Centuries: A History of Missed Opportunities. London: Macmillan.
Elson, R. E. (1994). Village Java under the Cultivation System, 1830–1870. Sydney: Allen & Unwin.
Engels, F. (2009). The Condition of the Working Class in England (Reprint). Oxford: Oxford University Press. (Original work published 1845)
Frank, A.G. (1967). Capitalism and Underdevelopment in Latin America.
Freire, P. (1970). Pedagogy of the Oppressed.
Giddens, A. (1990). The Consequences of Modernity. Cambridge: Polity Press.
Hilton, R. (1973). Bond Men Made Free: Medieval Peasant Movements and the English Rising of 1381. London: Temple Smith.
Ife, J., & Tesoriero, F. (2006). Community Development: Community-Based Alternatives in an Age of Globalisation. Frenchs Forest: Pearson Education.
Ife, J., & Tesoriero, F. (2020). Community Development: Human Rights Approach.
Kahin, G. M. (2003). Nationalism and Revolution in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press.
Kretzmann, J. & McKnight, J. (1993). Building Communities from the Inside Out.
Loomba, A. (2005). Colonialism/Postcolonialism. London: Routledge.
Marx, K. (1976). Capital: A Critique of Political Economy, Vol. 1. Harmondsworth: Penguin.
Ricklefs, M. C. (2001). A History of Modern Indonesia since c.1200. Stanford: Stanford University Press.
Sartono, K. (1982). Indonesia dalam Arus Sejarah Nasionalisme. Jakarta: Gramedia.
Sen, A. (1999). Development as Freedom.
Scott, J. C. (1976). The Moral Economy of the Peasant: Rebellion and Subsistence in Southeast Asia. New Haven: Yale University Press.
Soekarno. (1963). Sosialisme Indonesia. Jakarta: Panitia Penerbit.
Thompson, E. P. (1963). The Making of the English Working Class. New York: Vintage.
Vickers, A. (2005). A History of Modern Indonesia. Cambridge: Cambridge University Press.
Tags:
Akademik

Adakah tokoh pertama yang menggerakkan pengembangan masyarakat Islam di Indonesia? Dan dimulai dari mana,kota atau perdesaan?
ReplyDeleteMengapa Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah dikaitkan dengan pembangunan masyarakat?
ReplyDeleteBagaimana warisan feodalisme memengaruhi pengembangan masyarakat modern?
ReplyDeleteMengapa pengembangan masyarakat tidak bisa lahir secara instan?
ReplyDeleteJadi, pengembangan masyarakat Islam tidak bisa lahir secara instan karena ia adalah proses jangka panjang yang menuntut kesabaran, kesungguhan, dan kesinambungan dalam pendidikan, dakwah, serta pembangunan sosial.
DeletePerang Indonesia tidak bisa lahir secara instan karena perjuangan kemerdekaan merupakan hasil proses panjang: rakyat dijajah ratusan tahun, kesadaran nasional tumbuh bertahap, persatuan bangsa harus dibangun dulu, dan pengalaman militer-politik baru diperoleh menjelang 1945 ( jawaban untuk pertanyaan khansa lhatifah )
DeleteApa resiko besar dari dampak perang kedua dalam perkembangan dunia?
ReplyDeleteApa tantangan terbesar dalam pengembangan masyarakat di masa lalu
ReplyDeleteApa tantangan terbesar umat Islam dalam mengembangkan masyarakat pada masa Rasulullah SAW di Makkah?
ReplyDeleteApa tantangan terbesar umat Islam dalam mengembangkan masyarakat pada masa Rasulullah SAW di Makkah?
ReplyDeleteapa tujuan utama dari pengembangan masyarakat pada masa awal perkembangannya?
ReplyDeletebagaimana Contoh pengembangan masyarakat dalam islam?
ReplyDeleteJelaskan peran penemuan pertanian terhadap struktur sosial, seperti pembagian kerja dan stratifikasi sosia
ReplyDeleteBagaimana adaptasi manusia dari gaya hidup nomaden menjadi menetap berkontribusi pada munculnya komunitas sosial yang kompleks?
ReplyDeletebagaimana contoh pengembangan masyarakat dalam islam
ReplyDeleteJadi, pengembangan masyarakat Islam tidak bisa lahir secara instan karena ia adalah proses jangka panjang yang menuntut kesabaran, kesungguhan dan kesinambungan dalam pendidikan, dakwah, serta pembangunan sosial.
ReplyDeleteBagai mana fungsi perkembang masyarakat
ReplyDeleteMengapa industrialisasi disebut sebagai “revolusi sosial”?
ReplyDelete