Sejarah dan Paradigma Pembangunan Pedesaan di Indonesia

    

Pendahuluan

Pembangunan pedesaan di Indonesia merupakan salah satu aspek penting dalam sejarah pembangunan nasional. Hal ini tidak lepas dari fakta bahwa sebagian besar penduduk Indonesia sejak awal kemerdekaan hingga kini masih tinggal di pedesaan. Desa menjadi pusat kehidupan sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Oleh karena itu, memahami sejarah dan paradigma pembangunan pedesaan sangat penting untuk melihat bagaimana arah pembangunan bangsa ini dibentuk dan bagaimana desa bertransformasi dari waktu ke waktu.

Di Indonesia sejarah pembangunan pedesaan mulai dari masa kolonial hingga era reformasi dan pasca-reformasi, dan sampai saat ini paradigma pembangunan pedesaan masih terus berkembang. Hal ini sudah menjadi suatu yang lazim dimana pedesaan selalu bergerak menuju kearah perkembangan yang tidak henti karena segala sesuatu yang terjadi di desa akan selalu terkoneksi kedalam sistem perekonomian global. Lebih-lebih lagi pada saat ini Indonesia sedang mengalami persoalan ketahanan pangan, maka kawasan pedesaan yang mayoritasnya kawasan pertanian sejatinya menjadi solusi bagi persoalan bangsa.

Beberapa fase pembangunan di Indonesia dapat dimulai dari;

Masa Kolonial Belanda (1600-an – 1942)

Pembangunan pedesaan di Indonesia pada masa kolonial Belanda tidak diarahkan untuk kesejahteraan masyarakat desa, melainkan untuk kepentingan ekonomi kolonial. Sejak abad ke-17, VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) memusatkan kebijakan ekonomi pada penguasaan perdagangan rempah-rempah serta memaksa desa-desa penghasil komoditas untuk tunduk dalam sistem ekonomi kolonial (Furnivall, 1939). Desa hanya ditempatkan sebagai penyedia tenaga kerja dan bahan baku industri kolonial, tanpa ruang partisipasi yang memadai. Kebijakan Cultuurstelsel atau Sistem Tanam Paksa (1830–1870) mewajibkan petani untuk menanam tanaman ekspor seperti kopi, tebu, dan nilam di sebagian lahan mereka, yang mengakibatkan penderitaan, kelaparan, dan kemiskinan yang luas di kalangan masyarakat desa (Elson, 1994). Setelah sistem tanam paksa berakhir, pemerintah kolonial memberlakukan Agrarische Wet 1870 (Undang-Undang Agraria 1870) yang membuka peluang besar bagi perusahaan swasta Eropa untuk menguasai lahan-lahan desa, sehingga memperkuat struktur ekonomi dualistik yang merugikan petani pribumi (Ricklefs, 2001). Sepanjang periode kolonial, paradigma pembangunan pedesaan dapat dipahami sebagai proses yang bersifat eksploitatif, sentralistis, dan diskriminatif, di mana masyarakat desa ditempatkan semata sebagai objek eksploitasi ekonomi kolonial tanpa adanya perhatian terhadap kesejahteraan dan pemberdayaan mereka (Vlekke, 2008). Belanda menerapkan sistim tanam paksa untuk memenuhi kebutuhan perdagangan internasional mereka. Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) diperkenalkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada tahun 1830 untuk menyelamatkan keuangan Belanda pasca-Perang Diponegoro (1825–1830) dan beban hutang luar negeri. Melalui sistem ini, petani di Jawa diwajibkan menanami sekitar seperlima lahan mereka dengan tanaman ekspor seperti kopi, tebu, nilam, dan teh, yang hasilnya harus diserahkan kepada pemerintah kolonial dengan harga rendah. Bagi mereka yang tidak memiliki lahan, kewajiban diganti dengan kerja paksa selama 66 hari per tahun di perkebunan pemerintah (Elson, 1994). Mekanisme ini menjadikan desa-desa di Jawa sebagai mesin produksi komoditas global, sementara keuntungan besar masuk ke kas negara Belanda, sehingga Hindia Belanda dikenal sebagai wingewest atau daerah penghasil keuntungan (Furnivall, 1939).

Dampak sistem ini sangat dirasakan masyarakat desa. Banyak lahan yang sebelumnya digunakan untuk menanam padi dialihkan untuk komoditas ekspor, sehingga mengakibatkan krisis pangan dan kelaparan massal, terutama di daerah Cirebon dan Demak pada 1840-an (Ricklefs, 2001). Tekanan kerja paksa juga memperburuk kondisi sosial-ekonomi rakyat desa, menciptakan penderitaan yang mendalam. Meskipun sebagian infrastruktur seperti jalan dan gudang sempat berkembang, manfaatnya tidak sebanding dengan eksploitasi yang dialami masyarakat (Vlekke, 2008). Kritik keras terhadap sistem ini muncul dari kalangan humanis Belanda, terutama melalui novel Max Havelaar (1860) karya Multatuli (Eduard Douwes Dekker), yang menggambarkan penderitaan rakyat akibat kebijakan kolonial dan menuntut perubahan.

Akhirnya, tekanan moral dan kritik tersebut mendorong pemerintah Belanda menghapus sistem Tanam Paksa pada tahun 1870 dan menggantinya dengan Politik Liberal, yang memberi kesempatan luas bagi perusahaan swasta Eropa menguasai lahan di pedesaan (Elson, 1994; Ricklefs, 2001). Dengan demikian, paradigma pembangunan pedesaan pada masa Tanam Paksa jelas bercorak eksploitatif dan sentralistis, di mana desa ditempatkan semata sebagai objek eksploitasi ekonomi untuk menopang kapitalisme kolonial, tanpa memperhatikan kesejahteraan masyarakat pribumi.

Masa Pendudukan Jepang (1942–1945)

Pendudukan Jepang di Indonesia dimulai sejak tahun 1942 dan telah membawa perubahan drastis pada struktur sosial pedesaan di negara ini. Desa-desa dijadikan sebagai basis logistik untuk kepentingan perang Asia Timur Raya, sehingga rakyat diwajibkan menyuplai bahan pangan dalam jumlah besar untuk pasukan Jepang (Ricklefs, 2001). Selain itu, masyarakat pedesaan dipaksa melakukan kerja paksa yang dikenal dengan istilah romusha, di mana jutaan orang dikirim untuk membangun jalan, rel kereta api, dan fasilitas militer tanpa imbalan layak, yang banyak berakhir pada penderitaan dan kematian (Shiraishi, 1990).

Jepang juga memperkenalkan sistem organisasi baru di tingkat desa yang bersifat militeristik, misalnya Tonarigumi (rukun tetangga), sebagai alat pengawasan yang ketat terhadap rakyat (Kurasawa, 1993). Meskipun pemerintah militer Jepang menyuarakan propaganda Asia untuk Asia dengan janji kemerdekaan, kenyataannya pembangunan pedesaan pada masa ini bercorak militeristik dan eksploitatif, dengan ruang partisipasi masyarakat yang sangat terbatas.

Masa Kemerdekaan – Orde Lama (1945–1966)

Pada masa awal kemerdekaan, pembangunan pedesaan diarahkan untuk memulihkan kondisi sosial-ekonomi masyarakat setelah perang kemerdekaan. Dalam periode Demokrasi Liberal (1945–1959), desa diberi otonomi cukup luas melalui UU No. 22 Tahun 1948, yang menempatkan desa sebagai kesatuan masyarakat hukum dengan hak mengatur rumah tangganya sendiri. Namun, instabilitas politik yang ditandai oleh pergantian kabinet yang sering terjadi, konflik ideologi, dan pemberontakan daerah menyebabkan pembangunan desa tidak berjalan optimal. Program pembangunan lebih banyak terpusat di kota, sehingga desa sering kali terabaikan (Ricklefs, 2001).

Memasuki periode Demokrasi Terpimpin (1959–1966), arah pembangunan pedesaan semakin kuat dikaitkan dengan ideologi politik. Presiden Soekarno menggunakan konsep Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme) sebagai strategi politik nasional. Desa menjadi sarana mobilisasi massa untuk mendukung agenda politik negara. Akibatnya, pembangunan desa tidak fokus pada aspek teknis atau kesejahteraan masyarakat, melainkan lebih berfungsi sebagai alat legitimasi kekuasaan politik (Feith, 1962). Program pembangunan yang dijalankan cenderung bersifat retoris dan politis, bukan teknis dan substantif, sehingga tidak memberikan dampak signifikan terhadap peningkatan kualitas hidup masyarakat desa.

Dengan demikian, paradigma pembangunan pedesaan pada masa Orde Lama dapat dipahami sebagai ideologis dan politis. Desa lebih banyak diposisikan sebagai instrumen politik untuk kepentingan elite negara daripada sebagai pusat pembangunan yang menyejahterakan masyarakat (Lev, 1966).

Masa Orde Baru (1966–1998)

Masa Orde Baru menjadi periode yang sangat penting dalam sejarah pembangunan pedesaan Indonesia karena adanya program pembangunan yang masif dan terstruktur. Sejak diluncurkannya Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) pada 1969, pemerintah menetapkan tujuan “growth with equity” atau pertumbuhan yang merata. Desa ditempatkan sebagai target utama program swasembada pangan, terutama melalui program Bimas (Bimbingan Massal) dan Inmas (Intensifikasi Massal) yang mendorong petani mengadopsi teknologi pertanian modern, pupuk kimia, dan varietas unggul padi (Booth, 1998).

Selain itu, pada tahun 1974 diluncurkan Instruksi Presiden (Inpres) Desa Tertinggal, yang menyediakan dana pembangunan langsung untuk desa, digunakan untuk pembangunan infrastruktur seperti jalan, sekolah, dan puskesmas. Melalui program ini, pemerintah berupaya mempercepat pembangunan fisik di desa sekaligus memperkuat struktur pemerintahan desa. Kepala desa diintegrasikan ke dalam sistem politik yang sangat hierarkis dan tunduk pada pemerintah pusat, sehingga menjadikan desa sebagai unit administratif yang lebih terkendali daripada sebagai komunitas mandiri (Antlöv, 2003).

Dampak dari berbagai kebijakan Orde Baru cukup signifikan. Pembangunan fisik desa meningkat pesat, dan pada tahun 1984 Indonesia berhasil mencapai swasembada beras, sebuah capaian besar yang diakui secara internasional (Ricklefs, 2001). Namun, model pembangunan ini bersifat sangat top-down sehingga partisipasi masyarakat desa rendah. Desa lebih banyak diperlakukan sebagai objek pembangunan alih-alih sebagai subjek yang berdaya. Paradigma pembangunan pedesaan pada masa Orde Baru dengan demikian bercorak modernisasi teknokratis, yang menekankan pertumbuhan ekonomi dan pencapaian swasembada, tetapi mengabaikan aspek kemandirian dan pemberdayaan masyarakat desa (Antlöv, 2003; Booth, 1998).

Era Reformasi (1998–sekarang)

Era Reformasi membawa perubahan besar dalam paradigma pembangunan pedesaan di Indonesia, terutama melalui kebijakan desentralisasi. Kebijakan ini dimulai dengan penerapan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang kemudian diperbarui dengan UU No. 32 Tahun 2004, memberikan kewenangan lebih luas kepada daerah, termasuk desa, untuk mengatur pembangunan sesuai kebutuhan dan potensi lokal. Dengan demikian, desa mulai diberi ruang untuk menentukan arah pembangunan secara lebih mandiri, berbeda dengan pola sentralistis pada masa Orde Baru (Antlöv, 2003).

Perubahan paling signifikan terjadi dengan lahirnya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang mengakui desa sebagai kesatuan masyarakat hukum dengan kewenangan mengatur rumah tangganya sendiri. Melalui kebijakan ini, desa memperoleh Dana Desa yang langsung dikucurkan dari APBN, serta didorong untuk membentuk BUMDes (Badan Usaha Milik Desa) sebagai instrumen ekonomi lokal yang mendukung kemandirian finansial. Partisipasi masyarakat menjadi aspek penting dalam setiap tahapan pembangunan melalui mekanisme Musyawarah Desa, sehingga desa benar-benar ditempatkan sebagai aktor utama pembangunan (Vel & Bedner, 2015).

Paradigma baru pembangunan pedesaan pada era Reformasi bercorak partisipatif dan bottom-up, di mana desa dipandang bukan lagi sebagai objek, tetapi sebagai subjek pembangunan. Fokus utamanya adalah pada kemandirian, pemberdayaan, dan keberlanjutan dalam rangka memperkuat kapasitas sosial, ekonomi, dan politik masyarakat desa. Meskipun demikian, implementasi kebijakan ini masih menghadapi tantangan, seperti keterbatasan kapasitas aparatur desa, praktik korupsi, serta kesenjangan pembangunan antar-desa (Zakaria, 2015).

Tantangan Pembangunan Pedesaan Saat Ini

Meskipun paradigma pembangunan pedesaan di Indonesia telah berubah dari yang semula bersifat top-down menjadi lebih partisipatif, sejumlah tantangan besar masih terus dihadapi. Salah satu persoalan mendasar adalah ketimpangan desa-kota yang masih tinggi. Pembangunan ekonomi lebih terkonsentrasi di perkotaan, sementara desa sering kali tertinggal dalam hal akses infrastruktur, pendidikan, dan layanan kesehatan, sehingga memperlebar kesenjangan sosial-ekonomi (Firman, 2017).

Selain itu, meskipun hadirnya Dana Desa melalui UU No. 6 Tahun 2014 memberikan peluang besar bagi penguatan pembangunan desa, praktik korupsi dan penyalahgunaan anggaran masih menjadi persoalan serius. Banyak kasus penyalahgunaan Dana Desa yang menunjukkan lemahnya sistem pengawasan dan akuntabilitas (Zakaria, 2015). Hal ini juga terkait dengan kapasitas aparatur desa yang belum merata, baik dalam aspek perencanaan, pengelolaan anggaran, maupun kemampuan administratif, sehingga memengaruhi efektivitas pelaksanaan program pembangunan desa (Antlöv, Wetterberg & Dharmawan, 2016).

Tantangan lain adalah keterbatasan akses teknologi digital di pedesaan. Meskipun digitalisasi dapat membuka peluang besar bagi inovasi ekonomi dan pendidikan, kesenjangan digital masih signifikan, terutama di wilayah terpencil, sehingga menghambat transformasi desa ke arah desa cerdas (smart village) (Sutopo & Astuti, 2020). Lebih jauh, globalisasi membawa ancaman tersendiri berupa terkikisnya budaya lokal. Masuknya budaya global sering kali membuat nilai-nilai tradisi desa melemah, sehingga diperlukan strategi pembangunan yang tidak hanya berorientasi pada ekonomi, tetapi juga pada pelestarian identitas dan kearifan lokal (Vel & Bedner, 2015).

Pembangunan pedesaan saat ini tidak hanya menghadapi tantangan teknis dan administratif, tetapi juga persoalan struktural dan kultural. Oleh sebab itu, penguatan kapasitas aparatur desa, transparansi penggunaan anggaran, pemerataan akses digital, serta pelestarian budaya lokal harus menjadi prioritas utama dalam agenda pembangunan pedesaan ke depan.



Referensi

    Antlöv, H. (2003). Village Government and Rural Development in Indonesia: The New Democratic Framework. Bulletin of Indonesian Economic Studies.
    Antlöv, H., Wetterberg, A., & Dharmawan, L. (2016). Village Governance, Community Life, and the 2014 Village Law in Indonesia. Bulletin of Indonesian Economic Studies.
    Booth, A. (1998). The Indonesian Economy in the Nineteenth and Twentieth Centuries. London: Macmillan.
    Elson, R.E. (1994). Village Java under the Cultivation System, 1830–1870. Sydney: Allen & Unwin.
    Feith, H. (1962). The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press.
    Firman, T. (2017). Rural-Urban Disparities in Indonesia: Challenges for Sustainable Development. Journal of Regional Development.
    Furnivall, J.S. (1939). Netherlands India: A Study of Plural Economy. Cambridge University Press.
    Kurasawa, A. (1993). Mobilisasi dan Kontrol: Studi tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942–1945. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
    Lev, D.S. (1966). The Transition to Guided Democracy: Indonesian Politics, 1957–1959. Ithaca: Cornell University Press.
    Multatuli (1860). Max Havelaar. Amsterdam.
    Ricklefs, M.C. (2001). A History of Modern Indonesia Since c.1200. Stanford University Press.
    Shiraishi, T. (1990). An Age in Motion: Popular Radicalism in Java, 1912–1926. Cornell University Press.
    Sutopo, W. & Astuti, M. (2020). Bridging the Digital Divide: ICT for Rural Development in Indonesia. International Journal of Rural Development.
    Vel, J. & Bedner, A. (2015). Decentralisation and Village Governance in Indonesia: The Return to the Nagari and the 2014 Village Law. Journal of Legal Pluralism.
    Vlekke, B.H.M. (2008). Nusantara: Sejarah Indonesia. Jakarta: KPG.
Zakaria, Y. (2015). Implementasi Undang-Undang Desa dan Tantangannya. Jurnal Pembangunan Daerah.

2 Comments

  1. Menjawab pertanyaan dari Khansa lathifah.
    Jadi, pengembangan masyarakat Islam tidak bisa lahir secara instan karena ia adalah proses jangka panjang yang menuntut kesabaran, kesungguhan, dan kesinambungan dalam pendidikan, dakwah, serta pembangunan sosial.

    ReplyDelete
  2. Menjawab pertanyaan dari Khansa lathifah
    Jadi, pengembangan masyarakat Islam tidak bisa lahir secara instan karena ia adalah proses jangka panjang yang menuntut kesabaran, kesungguhan, dan kesinambungan dalam pendidikan, dakwah, serta pembangunan sosial

    ReplyDelete
Previous Post Next Post