Ketika Rempah Menjadikan Aceh Dikenal Dunia

Oleh T. Sultansyah Rumi
Siswa MA Dayah Insan Qurani, Aceh Besar


Aceh telah menjadi salah satu pusat perdagangan dunia di masa lampau, terutama pada masa kejayaan rempah Nusantara. Salah satu rempah istimewa yang banyak dihasilkan oleh Aceh adalah lada. Namun hilir-mudik perdagangan rempah juga membawa berbagai macam rempah yang kini bisa kita temui di Aceh. Tak mengherankan jika kuliner Aceh begitu kaya akan aroma dan cita rasa rempahnya.

Pemamfaatan rempah di Aceh tidak hanya diperuntukan sebagai bahan-bahan kuliner semata, namun juga menjadi bahan pengobatan alternatif. Hal ini pun telah lama dilakukan oleh masyarakat Aceh dalam melakukan pemanfaatannya terhadap tumbuhan multiguna ini.

Pengobatan dengan rempah bahkan telah tertulis dalam kitab-kitab masa lampau. Salah satu contohnya, termaktub dalam kitab Tajul Muluk (Mahkota Raja) yang ditulis oleh Syekh Ismail Aceh pada zaman Sultan Ibrahim Mansur Syah (1837-1870 M). Di dalamnya disebut beberapa jenis rempah dari lada, cengkeh, dan fuli (lapisan biji pala berwarna merah).

Jauh sebelumnya, rempah telah menjadi bagian dalam sejarah Aceh. Lada, terutama, pernah menjadi cendera mata dan alat diplomasi saat Aceh hendak meminta bantuan bangsa asing. Bangsa asing yang pernah menerima ini salah satunya adalah bangsa Turki.Kisah panjang mengenai hubungan rempah dan perjuangan Aceh tersebut memiliki bukti yang masih bisa kita temui yaitu “meriam lada secupak”.

Jatuhnya Konstantinopel ke tangan Turki Utsmani adalah salah satu alasan kenapa Aceh dapat menjadi salah satu kerajaan pada masa itu yang sangat berjaya dalam hal perdagangan khususnya dalam bidang perdagangan rempah-rempah.

Ketika Konstantinopel jatuh ke tangan Turki Utsmani, sebagian besar bangsa Eropa khususnya bangsa Portugis terpaksa mencari jalur dagang lain menuju Asia. Pada akhirnya seorang penjelajah portugis yang bernama Vasco Da Gama menemukan jalur ke India. Dari sini Alfonso de Albuquerque menaklukan Malaka pada 1511 dan menemukan rute ke kepulauan Maluku.

Malaka adalah sebuah pusat perdagangan yang cukup penting bagi umat Islam di Asia pada saat itu. Karena di Malaka umat Islam dapat berdagang dan berdakwah. Ketika Malaka jatuh ke tangan bangsa Portugis, para pedagang dan pendakwah Islam mengalihkan aktivitas mereka ke Aceh. Aceh kemudian menjadi sebuah pusat perdagangan baru yang ramai khususnya bagi pedagang Islam dan para bandar rempah yang membawa rempah dari Maluku dan Sumatera untuk diabawa ke laut merah.

Kehadiran Aceh sebagai pusat dagang baru melahirkan ambisi bagi bangsa Portugis untuk menaklukkan dan menguasai Aceh. Namun tentu saja hal tersebut mendapatkan perlawanan dari Kerajaan Aceh yang saat itu dipimpin oleh Sultan Ali Mughayatsyah.

Sultan Ali Mughayatsyah kemudian berhasil mengusir bangsa Portugis yang telah mendarat di pulau Sumatera. Sultan Ali Mughayatsyah juga berhasil menaklukan Pidie dan Pasai dan menbuat Kerajaan Nanggroe Aceh Darussalam menjadi sebuah kerajaan yang besar.

Kemudian dengan penuh kayakinan Kerajaan Aceh mencoba untuk merebut Malaka dari bangsa Portugis. Meski terus mengalami kegagalan perjuangan Aceh untuk merebut Malaka dari tangan Portugis berlangsung kurang lebih satu abad sampai akhirnya kedua belah pihak tidak mampu menguasai Malaka karena VOC menguasai Malaka pada tahun 1641.


Pertarungan laut antara Kerajaan Aceh dan bangsa Potugis

Aceh menjadi salah satu simpul dalam jalur rempah Indonesia. Dikarenakan kejayaan perdagangan rempah tidak lepas dari peran Kerajaan Nanggroe Aceh Darussalam sebagai pusat perdagangan dan rempah dihasilkan olehnya. Salah satu rempah yang paling banyak dihasilkan oleh Kerajaan Aceh adalah lada.

Perdagangan lada telah mempengaruhi Kerajaan Aceh dari berbagai aspek. Mulai dari ekonomi, bahasa, budaya, bahkan politik.

Salah satu dampak politik yang di sebabkan oleh lada adalah kisah Meriam Lada Sicupak. Sebuah kisah bagaimana Kerajaan Aceh meminta bantuan Kerajaan Turki Utsmani dengan membawakan lada sicupak (segegam). Pada saat itu Kerajaan Aceh dibawah pimpinan Sultan Iskandar Muda. Iskandar Muda saat itu sedang berusaha menaklukkan Malaka dan meminta bantuan Kerajaan Turki Utsmani.

Panglima Nyak Dum adalah kepala rombongan yang di kirim oleh Sultan Iskandar Muda ke Sultan Turki dengan hadiah tiga buah kapal dipenuhi oleh lada. Dalam perjalanannya, ketiga kapal delegasi Aceh itu terbawa badai. Awalnya dari pelabuhan Aceh mereka hendak menuju ke Madras tapi terbawa angin ke Calcuta. Mereka harus bertahan beberapa saat disana, setelah menunggu angin teduh, mereka berlayar menyusuri pantai Coromondal, sepanjang Teluk Banggala hingga kemudian sampai ke Madras.

Setelah beberapa lama di Madras, delegasi Aceh melanjutkan perjalanan ke Ceylon terus ke Teluk Parsi sampai ke Bombay. Dari sana kemudian menyebrang ke laut Sikatra menuju Madagaskar terus ke tanjung harapan Afrika Selatan. Selanjutnya rombongan Panglima Nyak Dum menuju laut Atlantik sampai ke Istambul, Turki.

Perjalanan dari Aceh menuju Turki itu menghabiskan waktu sampai dua tahun. Bekal dalam perjalanan sudah habis. Lada yang dikirim sebagai persembahan untuk Sultan Turki juga dijual di Bombay untuk memenuhi kebutuhan selama perjalanan panjang tersebut.

Ketika kapal masuk ke pelabuhan di Konstatinopel, timbul keresahan dari delegasi Aceh itu karena barang persembahan Sultan Iskandar Muda untuk raja Turki sudah dijual selama perjalanan, yang tersisa hanya sepuluh goni lada. Panglima Nyak Dum kemudian mengambil secupak lada dari salah satu goni itu dan membungkuskan dalam kain kuning, sebagai isyarat bahwa bingkisan itu dipersembahkan kepada sultan Turki dari sultan Aceh.

Rombongan Panglima Nyak Dum disambut oleh syahbandar diantar ke istana. Sesampai di sana Panglima Nyak Dum menyerahkan surat dari Sultan Iskandar Muda beserta bingkisan secupak lada kepada raja Turki. Ia juga menjelaskan bahwa bingkisan dari Aceh yang dibawanya telah banyak habis dijual untuk bekal selama perjalanan karena kapal mereka terbawa badai pada rute yang salah dan Sultan Turki memaklumi hal itu.

Usai jamuan, Panglima Nyak Dum menceritakan kepada Sultan Turki tentang tindakan Portugis di selat Malaka yang telah mengganggu perairan Aceh. Pihak Turki menegaskan bahwa akan terus menjaga hubungan baik dengan Kerajaan Aceh, termasuk membantu Sultan Aceh dalam menghalau gangguan Portugis di Selat Malaka.

Setelah sekitar tiga bulan delegasi Aceh itu berada di Turki, Panglima Nyak Dum dan rombongannya kembali ke Aceh. Sebagai balasan tanda memperkuat persahabatan, Sultan Turki mengirim sebuah meriam dan alat-lata perang untuk Sultan Aceh. Meriam itulah yang kemudian dikenal sebagai meriam lada sicupak. Dalam rombongan Panglima Nyak Dum juga diikutserakan 12 orang Turki ahli militer dan pelayaran untuk mendampingi mereka sampai ke Aceh.


Meriam Lada Sicupak

Selain lada, Kerajaan Aceh pada kala itu juga menghasilkan berbagai rempah-rempah lain sebagai bahan dagangannya, diantaranya adalah pala, lada hitam, lada putih, cengkeh, bunga lawang, kayu manis, jintan, kapulaga, biji adas, ketumbar, kemiri, tawas, majakani, tembakau, kopi, teh, kapur barus, kemenyan, kayu gaharu, kayu cendana, kayu damar, belerang, rotan, beras, pinang, minyak nilam, minyak kayu cendana, minyak pliek u, minyak cengkeh, minyak pala, cuka je juk. Rempah-rempah ini kemudian dibawa atau di jual ke berbagai negara yang ada di dunia.


Rempah-rempah di Aceh

Post a Comment

Previous Post Next Post